A. DESKRIPSI
ASPEK KOGITIF
Pengertian kognitif sudah tidak asing lagi bagi kita
semua, seperti yang telah dijelaskan minggu lalu, bahwa istilah “cognitive”
berasal dari kata cognition yang padanannya knowing, berarti mengetahui. Dalam
arti yang luas, cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan, dan penggunaan
pengetahuan (Neisser, 1976). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif
menjadi popular, sebagai salah satu domain atau wilayah/ranah psikologis
manusia yang meliputi setiap prilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman,
pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan, dan
keyakinan. Ranah kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan
konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa
(Chaplin, 1972).
Menurut para ahli psikologi kognitif, pendayagunaan
kapasitas ranah kognitif manusia sudah mulai berjalan sejak manusia itu mulai
mendaya gunakan kapasitas motor dan sensorinya. Hanya, cara dan intensitas
pendayagunaan kapasitas ranah kognitif tersebut tentu masih belum jelas benar.
Argument yang dikemukakan para ahli mengenai hal ini antara lain ialah bahwa
kapasitas sensori dan jasmani seorang bayi yang baru lahir tidak mungkin
diaktifkan tanpa aktivitas pengendalian sel-sel otak bayi tersebut. Sebagai
bukti, jika seorang bayi lahir dengan cacat atau berkelainan otak, kecil sekali
kemungkinan bayi tersebut dapat mengotomatisasikan reflex-refleks motor dan
daya-daya sensorinya. Otomatisasi reflex dan sensori, menurut para ahli, tidak
pernah terlepas sama sekali dari aktivitas ranah kognitif, sebab pusat reflex
sendiri terdapat dalam otak, sedangkan otak adalah pusat ranah kognitif
manusia.
Persoalan mengenai usia berapa hari, berapa minggu,
atau berapa bulan aktivitas ranah kognitif mulai memengaruhi perkembangan
manusia memang sulit di tentukan. Namun, yang lebih mendekati kepastian dan
dapat dipedomani ialah hasil-hasil riset para ahli psikologi kognitif yang
menyimpulkan bahwa aktivitas ranah kognitif manusia itu pada prinsipnya sudah
berlangsung sejak masa bayi, yaitu rentang kehidupan antara 0-2 tahun.
Hasil-hasil riset kognitif yang dilakukan selama
kurun waktu sekitar 30 tahun terakhir ini menyimpulkan bahwa semua bayi manusia
sudah berkemampuan menyimpan informasi-informasi yang berasal dari penglihatan,
pendengaran, dan informasi-informasi lain yang diserap melalui indera-indera
lainnya. Selain itu, bayi juga berkemampuan merespons informasi-informasi
tersebut secara sistematis.
Implikasi pokok dari hasil-hasil riset kognitif di
atas menurut Bower sebagaimana yang dikutip Daehler & Bukatko (1985) ialah
bahwa manusia: begins life as an
extremely competent social organism, an extremely competent learning organism,
an extremely perceiving organism. Artinya bayi manusia memulai kehidupannya
sebagai organisme social (makhluk hidup bermasyarakat) yang betul-betul
berkemampuan, sebagai makhluk hidup yang betul-betul mampu belajar, dan sebagai
makhluk hidup betul-betul yang mampu memahami.
B. ARTI
PENTING ASPEK KOGNITIF TERHADAP BELAJAR PESERTA DIDIK
Para ahli psikologi seringkali mendefinisikan bahwa
belajar adalah perubahan perilaku sebagai akibat dari pengalaman. Ada juga yang
mendefinisikan sebagai perolehan informasi, walaupun dalam beberapa situasi
anak belajar tanpa memperoleh informasi baru.
Belajar didefinisikan sebagai perubahan prilaku,
mencakup pertumbuhan-pertumbuhan afektif, motorik, dan kognitif yang tidak
dihasilkan oleh sebab-sebab lain. Misalnya, perilaku yang berubah karena
kelelahan, obat-obatan atau kematangan, tidak dianggap sebagai belajar.
Barangkali, salah satu kesulitan pokok yang dialami
para guru dalam semua jenjang pendidikan adalah menghayati makna yang dalam
mengenai hubungan perkembangan khususnya ranah kognitif dengan proses
mengajar-belajar yang menjadi tanggung jawabnya. Seberapa jauhkah signifikansi
perkembangan ranah kognitif bagi proses mengajar-belajar?
Ranah psikologi siswa yang terpenting adalah ranah
kognitif. Ranah kejiwaan yang berkedudukan pada otak ini, dalam perspektif
psikologi kognitif, adalah sumber sekaligus pengendali ranah-ranah kejiwaan
lainnya yakni ranah afektif (rasa) dan ranah psikomotor (karsa). Tidak seperti
organ-organ tubuh lainnya, organ otak sebagai markas fungsi kognitif bukan
hanya menjadi penggerak aktivitas akal pikiran, melainkan juga menara
pengontrol aktivitas perasaan dan perbuatan. Sebagai menara pengontrol otak
selalu bekerja siang dan malam. Sekali kita kehilangan fungsi-fungsi kognitif
karena kerusakan berat pada otak, martabat kita hanya berbeda sedikit dengan hewan.
Demikian pula halnya orang yang menyalahgunakan kelebihan kemampuan otak untuk
hal-hal yang merugikan kelompok lain apalagi menghancurkan kehidupan mereka,
martabat orang itulah sebabnya, pendidikan dan pengajaran perlu di upayaka
sedemikian rupa agar ranah kognitif para siswa dapat berfungsi secara
positif dan bertanggung jawab.
Demikian besarnya kemampuan otak dan demikian
rumitnya tatanan syaraf yang terdapat di dalamnya, sehingga peralatan yang
paling canggih pun hingga saat ini belum sanggup menyingkap seluruh rahasianya.
Namun yang terpenting bagi guru dan siswa adalah menjaga agar semua sel otak
tetap bekerja dan aktif dalam memasok energy mental hingga kapasitas akal
senantiasa meningkat (Larson, 2006)
Diantara temuan-temuan riset yang menonjol adalah
sebagaimana yang penyusun kemukakan di atas, yakni bahwa otak adalah sumber dan
menara pengontrol bagi seluruh kegiatan kehidupan ranah-ranah psikologis
manusia. Otak tidak hanya berpikir dengan kesadaran, tetapi juga berpikir
dengan ketidaksadaran. Pemikiran tidak sadar (unconscious thinking) sering
terjadi pada diri kita. Ketika kita tidur misalnya, kita bermimpi, dan mimpi
adalah sebuah bentuk berpikir dengan gambar-gambar tanpa kita sadari. Alhasil,
ranah kognitif yang dikendalikan oleh otak kita itu memang karunia Tuhan yang
luar biasa dibandingkan dengan organ-organ tubuh lainnya.
Tanpa ranah kognitif, sulit dibayangkan seorang
siswa dapat berpikir. Selanjutnya, tanpa kemampuan berpikir mustahil siswa
tersebut dapat memahami dan meyakini faidah materi-materi pelajaran yang
disajikan kepadanya. Tanpa berpikir juga sulit bagi siswa untuk menangkap
pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran yang ia ikuti,
termasuk materi pelajaran agama. Oleh kerena itu, ada juga benarnya mutiara hikmah
yang berbunyi, “Agama adalah (memerlukan) akal, tidak beragama bagi orang yang
tidak berakal.”
Walaupun demikian, tidak berarti fungsi afektif dan
psikomotor seorang siswa tidak perlu. Kedua fungsi psikologis siswa ini juga
penting, tetapi seyogianya cukup di pandang sebagai buah-buah keberhasilan atau
kegagalan perkembangan dan aktivitas fungsi kognitif.
REFERENSI
:
Sumantri,
Mulyani,dkk.2007.Perkembangan Peserta
Didik. Jakarta: Universitas Terbuka
Syah, Muhibbin.2010. Psikologi Pendidikan.Cetakan ke-15.
Bandung:PT Remaja Rosdakarya
No comments:
Post a Comment