Thursday, June 12, 2014

SIGNIFIKANSI PERKEMBANGAN KOGNITIF PESERTA DIDIK BAGI PROSES BELAJAR

A.    DESKRIPSI ASPEK KOGITIF
Pengertian kognitif sudah tidak asing lagi bagi kita semua, seperti yang telah dijelaskan minggu lalu, bahwa istilah “cognitive” berasal dari kata cognition yang padanannya knowing, berarti mengetahui. Dalam arti yang luas, cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan (Neisser, 1976). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif menjadi popular, sebagai salah satu domain atau wilayah/ranah psikologis manusia yang meliputi setiap prilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan, dan keyakinan. Ranah kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa (Chaplin, 1972).
Menurut para ahli psikologi kognitif, pendayagunaan kapasitas ranah kognitif manusia sudah mulai berjalan sejak manusia itu mulai mendaya gunakan kapasitas motor dan sensorinya. Hanya, cara dan intensitas pendayagunaan kapasitas ranah kognitif tersebut tentu masih belum jelas benar. Argument yang dikemukakan para ahli mengenai hal ini antara lain ialah bahwa kapasitas sensori dan jasmani seorang bayi yang baru lahir tidak mungkin diaktifkan tanpa aktivitas pengendalian sel-sel otak bayi tersebut. Sebagai bukti, jika seorang bayi lahir dengan cacat atau berkelainan otak, kecil sekali kemungkinan bayi tersebut dapat mengotomatisasikan reflex-refleks motor dan daya-daya sensorinya. Otomatisasi reflex dan sensori, menurut para ahli, tidak pernah terlepas sama sekali dari aktivitas ranah kognitif, sebab pusat reflex sendiri terdapat dalam otak, sedangkan otak adalah pusat ranah kognitif manusia.
Persoalan mengenai usia berapa hari, berapa minggu, atau berapa bulan aktivitas ranah kognitif mulai memengaruhi perkembangan manusia memang sulit di tentukan. Namun, yang lebih mendekati kepastian dan dapat dipedomani ialah hasil-hasil riset para ahli psikologi kognitif yang menyimpulkan bahwa aktivitas ranah kognitif manusia itu pada prinsipnya sudah berlangsung sejak masa bayi, yaitu rentang kehidupan antara 0-2 tahun.
Hasil-hasil riset kognitif yang dilakukan selama kurun waktu sekitar 30 tahun terakhir ini menyimpulkan bahwa semua bayi manusia sudah berkemampuan menyimpan informasi-informasi yang berasal dari penglihatan, pendengaran, dan informasi-informasi lain yang diserap melalui indera-indera lainnya. Selain itu, bayi juga berkemampuan merespons informasi-informasi tersebut secara sistematis.
Implikasi pokok dari hasil-hasil riset kognitif di atas menurut Bower sebagaimana yang dikutip Daehler & Bukatko (1985) ialah bahwa manusia: begins life as an extremely competent social organism, an extremely competent learning organism, an extremely perceiving organism. Artinya bayi manusia memulai kehidupannya sebagai organisme social (makhluk hidup bermasyarakat) yang betul-betul berkemampuan, sebagai makhluk hidup yang betul-betul mampu belajar, dan sebagai makhluk hidup betul-betul yang mampu memahami.

B.     ARTI PENTING ASPEK KOGNITIF TERHADAP BELAJAR PESERTA DIDIK
Para ahli psikologi seringkali mendefinisikan bahwa belajar adalah perubahan perilaku sebagai akibat dari pengalaman. Ada juga yang mendefinisikan sebagai perolehan informasi, walaupun dalam beberapa situasi anak belajar tanpa memperoleh informasi baru.
Belajar didefinisikan sebagai perubahan prilaku, mencakup pertumbuhan-pertumbuhan afektif, motorik, dan kognitif yang tidak dihasilkan oleh sebab-sebab lain. Misalnya, perilaku yang berubah karena kelelahan, obat-obatan atau kematangan, tidak dianggap sebagai belajar.
Barangkali, salah satu kesulitan pokok yang dialami para guru dalam semua jenjang pendidikan adalah menghayati makna yang dalam mengenai hubungan perkembangan khususnya ranah kognitif dengan proses mengajar-belajar yang menjadi tanggung jawabnya. Seberapa jauhkah signifikansi perkembangan ranah kognitif bagi proses mengajar-belajar?
Ranah psikologi siswa yang terpenting adalah ranah kognitif. Ranah kejiwaan yang berkedudukan pada otak ini, dalam perspektif psikologi kognitif, adalah sumber sekaligus pengendali ranah-ranah kejiwaan lainnya yakni ranah afektif (rasa) dan ranah psikomotor (karsa). Tidak seperti organ-organ tubuh lainnya, organ otak sebagai markas fungsi kognitif bukan hanya menjadi penggerak aktivitas akal pikiran, melainkan juga menara pengontrol aktivitas perasaan dan perbuatan. Sebagai menara pengontrol otak selalu bekerja siang dan malam. Sekali kita kehilangan fungsi-fungsi kognitif karena kerusakan berat pada otak, martabat kita hanya berbeda sedikit dengan hewan. Demikian pula halnya orang yang menyalahgunakan kelebihan kemampuan otak untuk hal-hal yang merugikan kelompok lain apalagi menghancurkan kehidupan mereka, martabat orang itulah sebabnya, pendidikan dan pengajaran perlu di upayaka sedemikian rupa agar ranah kognitif para siswa dapat berfungsi secara positif  dan bertanggung jawab.
Demikian besarnya kemampuan otak dan demikian rumitnya tatanan syaraf yang terdapat di dalamnya, sehingga peralatan yang paling canggih pun hingga saat ini belum sanggup menyingkap seluruh rahasianya. Namun yang terpenting bagi guru dan siswa adalah menjaga agar semua sel otak tetap bekerja dan aktif dalam memasok energy mental hingga kapasitas akal senantiasa meningkat (Larson, 2006)
Diantara temuan-temuan riset yang menonjol adalah sebagaimana yang penyusun kemukakan di atas, yakni bahwa otak adalah sumber dan menara pengontrol bagi seluruh kegiatan kehidupan ranah-ranah psikologis manusia. Otak tidak hanya berpikir dengan kesadaran, tetapi juga berpikir dengan ketidaksadaran. Pemikiran tidak sadar (unconscious thinking) sering terjadi pada diri kita. Ketika kita tidur misalnya, kita bermimpi, dan mimpi adalah sebuah bentuk berpikir dengan gambar-gambar tanpa kita sadari. Alhasil, ranah kognitif yang dikendalikan oleh otak kita itu memang karunia Tuhan yang luar biasa dibandingkan dengan organ-organ tubuh lainnya.
Tanpa ranah kognitif, sulit dibayangkan seorang siswa dapat berpikir. Selanjutnya, tanpa kemampuan berpikir mustahil siswa tersebut dapat memahami dan meyakini faidah materi-materi pelajaran yang disajikan kepadanya. Tanpa berpikir juga sulit bagi siswa untuk menangkap pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran yang ia ikuti, termasuk materi pelajaran agama. Oleh kerena itu, ada juga benarnya mutiara hikmah yang berbunyi, “Agama adalah (memerlukan) akal, tidak beragama bagi orang yang tidak berakal.”
Walaupun demikian, tidak berarti fungsi afektif dan psikomotor seorang siswa tidak perlu. Kedua fungsi psikologis siswa ini juga penting, tetapi seyogianya cukup di pandang sebagai buah-buah keberhasilan atau kegagalan perkembangan dan aktivitas fungsi kognitif.

REFERENSI :
Sumantri, Mulyani,dkk.2007.Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Universitas Terbuka
Syah, Muhibbin.2010. Psikologi Pendidikan.Cetakan ke-15. Bandung:PT Remaja Rosdakarya

            

No comments:

Post a Comment