Thursday, June 12, 2014

Perkembangan Sosial dan Moral Peserta Didik


A.    Deskripsi Perkembangan Sosial dan Moral
Pendidikan ditinjau dari psikososial (kejiwaan kemasyarakatan) adalah upaya penumbuhkembangan sumber daya manusia melalui proses hubungan interpersonal (hubungan antarpribadi) yang berlangsung dalam lingkungan masyarakat yang teroganisasi, dalam hal ini masyarakat pendidikan dan keluarga. Sedangkan dalam merespon pelajaran di kelas misalnya, siswa bergantung pada persepsinya terhadap guru pengajar dan teman-teman sekelasnya. Positif atau negatifnya persepsi siswa terhadap guru dan teman-temannya itu sangat memengaruhi kualitas hubungan sosial para siswa dengann lingkungan sosial kelasnya dan bahkan mungkin dengan lingkungan sekolahnya.
Perkembangan psikososial siswa atau sebut saja perkembangan sosial siswa adalah proses perkembangan kepribadian siswa selaku seorang anggota masyarakat dalam berhubungan dengan orang lain. Perkembangan menurut Bruno (1987), merupakan proses pembentukan social self (pribadi dalam masyarkat) yakni pribadi dalam keluarga, budaya, bangsa, dan seterusnya.
Syamsu Yusuf (2007)  menyatakan bahwa Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Perkembangan sosial dapat pula diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan tradisi meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan kerja sama.
Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain ( Santrock,1995).
Teori Kohlberg tentang perkembangan moral merupakan perluas, modifikasi, dan redefeni atas teori Piaget. Menurut Kohlberg perkembangan moral manusia itu terjadi dalam tiga tingkatan besar, yakni:
1.         Tingkat moralitas prakonvesional, yaitu ketika manusia berada dalam fase perkembangan moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.
2.         Tingkat moralitas konvesional, yaitu ketika manusia menjelang dan mulai memasuki fase perkembangan yuwana (usia 10-13 tahun) yang sudah menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.
3.         Tingkat moralitas pascakonvesional, yaitu ketika manusia telah memasuki fase perkembangan yuwana dan pascayuwana (usia 13 tahun ke atas) yang memandang moral lebih dari sekedar kesepakatan tradisi sosial.
Seperti dalam proses-proses perkembangan lainnya, proses perkembangan sosial dan moral siswa juga selalu berkaitan dengan proses belajar. Konsekuensinya, kualitas hasil perkembangan sosial siswa sangat bergantung pada kualitas proses belajar (khususnya belajar sosial) siswa tersebut, baik di lingkungan sekolah dan keluarga maupun di lingkungan yang lebih luas. Ini bermakna bahwa proses belajar itu amat menentukan kemampuan siswa dalam bersikap dan berperilaku sosial yang selaras dengan norma moral agama, moral tradisi, moral hukum, dan norma moral lainnya yang berlaku dalam masyarakat siswa yang bersangkutan.

B.     Alternatif Upaya Pengembangan Sosial dan Moral
Alternatif upaya pengembangan sosial dan moral siswa dalam pendekatan teori belajar sosial ini ditekankan perlu adanya conditioning (pembiasaan merespon) dan imitation (peniruan).
1.      Conditioning, prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku sosial dan moral pada dasarnya sama dengan prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku-perilaku lainnya, yakni dengan “reward” (ganjaran/memberi hadiah atau mengganjar) dan punishment (hukuman/memberi hukuman). Dasar pemikirannya ialah sekali seorang siswa mempelajari perbedaan antara perilaku yang menghasilkan ganjaran dengan perilaku yang mengakibatkan hukuman, ia senantiasa berpikir dan memutuskan perilaku sosial tertentu yang perlu ia perbuat.
Reaksi-reaksi seorang siswa terhadap stimulus yang ia pelajari adalah hasil dari adanya pembiasaan merespon sesuai dengan kebutuhan. Melalui proses pembiasaan merespon (conditioning) ini, juga ia menemukan pemahaman bahwa ia dapat menghindari hukuman dengan memohon maaf yang sebaik-baiknya agar kelak terhindar dari sanksi.
2.      Imitation atau peniruan, dalam hal ini orangtua dan guru seyogianya memainkan peran penting sebagai seorang model atau tokoh yang dijadikan contoh berprilaku sosial dan moral bagi siswa.
Sebagai contoh, mula-mula seorang siswa mengamati model gurunya sendiri yang sedang melakukan sebuah perilaku sosial, umpamanya menerima seorang tamu. Lalu, perbuatan menjawab salam, berjabat tangan, beramah tamah, dan seterusnya yang dilakukan model itu diserap oleh memori siswa tersebut. Diharapkan, cepat atau lambat siswa tersebut mampu meniru sebaik-baiknya perbuatan sosial yang dicontohkan oleh modelnya itu.
Ranah psikologi siswa yang terpenting adalah ranah kognitif. Ranah kejiwaan yang berkedudukan pada otak ini, dalam perspektif psikologi kognitif, adalah sumber sekaligus pengendali ranah-ranah kejiwaan lainnya yakni ranah afektif (rasa) dan ranah psikomotor (karsa). Otak adalah sumber dan menara pengontrol bagi seluruh kegiatan kehidupan ranah-ranah psikologis manusia. Otak tidak hanya berpikir dengan kesadaran, tetapi juga berpikir dengan ketidaksadaran. Pemikiran tidak sadar sering terjadi pada diri seseorang. Ketika sedang tidur misalnya, seseorang bermimpi, dan mimpi adalah sebuah bentuk berpikir dengan gambar-gambar tanpa disadari. Kebiasaan bangun subuh (tanpa dibangunkan oleh orang lain) dan siap mengerjakan rencana-rencana harian, juga bentuk aktivitas otak yang dalam psikologi kognitif disebut berpikir yang tak disadari oleh diri sendiri. Alhasil, ranah kognitif yang dikendalikan oleh otak itu memang karunia Tuhan yang luar biasa dibandingkan dengan organ-organ lainnya.
Tanpa ranah kognitif, sulit dibayangkan seorang siswa dapat berpikir. Selanjutnya, tanpa kemampuan berpikir mustahil siswa tersebut dapat memahami dan meyakini faedah materi-materi pelajaran yang disajikan kepadanya. Tanpa berpikir juga sulit bagi siswa untuk menangkap pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran yang ia ikuti, termasuk materi pelajaran agama. Oleh karena itu, ada juga benarnya mutiara hikmah berbunyi, “Agama adalah (memerlukan) akal, tiada beragama bagi orang yang tidak berakal”.

REFERENSI
Sumantri, Mulyani dkk.2007.Perkembangan Peserta Didik.Cetakan ke-15.Jakarta:Universitas Terbuka

Syah, Muhibbin. 2010. Psikologi Pendidikan. Cetakan ke-15. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

No comments:

Post a Comment