A.
Deskripsi
Perkembangan Sosial dan Moral
Pendidikan ditinjau dari psikososial (kejiwaan
kemasyarakatan) adalah upaya penumbuhkembangan sumber daya manusia melalui
proses hubungan interpersonal (hubungan antarpribadi) yang berlangsung dalam
lingkungan masyarakat yang teroganisasi, dalam hal ini masyarakat pendidikan
dan keluarga. Sedangkan dalam merespon pelajaran di kelas misalnya, siswa
bergantung pada persepsinya terhadap guru pengajar dan teman-teman sekelasnya.
Positif atau negatifnya persepsi siswa terhadap guru dan teman-temannya itu
sangat memengaruhi kualitas hubungan sosial para siswa dengann lingkungan
sosial kelasnya dan bahkan mungkin dengan lingkungan sekolahnya.
Perkembangan psikososial siswa atau sebut saja
perkembangan sosial siswa adalah proses perkembangan kepribadian siswa selaku
seorang anggota masyarakat dalam berhubungan dengan orang lain. Perkembangan
menurut Bruno (1987), merupakan proses pembentukan social self (pribadi dalam masyarkat) yakni pribadi dalam keluarga,
budaya, bangsa, dan seterusnya.
Syamsu Yusuf (2007)
menyatakan bahwa Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan
dalam hubungan sosial. Perkembangan sosial dapat pula diartikan sebagai proses
belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan tradisi
meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan kerja sama.
Perkembangan moral adalah perkembangan yang
berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan
oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain ( Santrock,1995).
Teori Kohlberg tentang perkembangan moral merupakan
perluas, modifikasi, dan redefeni atas teori Piaget. Menurut Kohlberg
perkembangan moral manusia itu terjadi dalam tiga tingkatan besar, yakni:
1.
Tingkat moralitas prakonvesional, yaitu
ketika manusia berada dalam fase perkembangan moral sebagai kesepakatan tradisi
sosial.
2.
Tingkat moralitas konvesional, yaitu
ketika manusia menjelang dan mulai memasuki fase perkembangan yuwana (usia
10-13 tahun) yang sudah menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.
3.
Tingkat moralitas pascakonvesional,
yaitu ketika manusia telah memasuki fase perkembangan yuwana dan pascayuwana
(usia 13 tahun ke atas) yang memandang moral lebih dari sekedar kesepakatan
tradisi sosial.
Seperti dalam proses-proses perkembangan lainnya,
proses perkembangan sosial dan moral siswa juga selalu berkaitan dengan proses
belajar. Konsekuensinya, kualitas hasil perkembangan sosial siswa sangat
bergantung pada kualitas proses belajar (khususnya belajar sosial) siswa
tersebut, baik di lingkungan sekolah dan keluarga maupun di lingkungan yang
lebih luas. Ini bermakna bahwa proses belajar itu amat menentukan kemampuan
siswa dalam bersikap dan berperilaku sosial yang selaras dengan norma moral
agama, moral tradisi, moral hukum, dan norma moral lainnya yang berlaku dalam
masyarakat siswa yang bersangkutan.
B.
Alternatif
Upaya Pengembangan Sosial dan Moral
Alternatif
upaya pengembangan sosial dan moral siswa dalam pendekatan teori belajar sosial
ini ditekankan perlu adanya conditioning (pembiasaan merespon) dan imitation
(peniruan).
1. Conditioning,
prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku sosial dan moral pada dasarnya
sama dengan prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku-perilaku lainnya,
yakni dengan “reward” (ganjaran/memberi hadiah atau mengganjar) dan punishment
(hukuman/memberi hukuman). Dasar pemikirannya ialah sekali seorang siswa
mempelajari perbedaan antara perilaku yang menghasilkan ganjaran dengan
perilaku yang mengakibatkan hukuman, ia senantiasa berpikir dan memutuskan
perilaku sosial tertentu yang perlu ia perbuat.
Reaksi-reaksi seorang
siswa terhadap stimulus yang ia pelajari adalah hasil dari adanya pembiasaan
merespon sesuai dengan kebutuhan. Melalui proses pembiasaan merespon
(conditioning) ini, juga ia menemukan pemahaman bahwa ia dapat menghindari
hukuman dengan memohon maaf yang sebaik-baiknya agar kelak terhindar dari
sanksi.
2. Imitation
atau peniruan, dalam hal ini orangtua dan guru seyogianya memainkan peran
penting sebagai seorang model atau tokoh yang dijadikan contoh berprilaku
sosial dan moral bagi siswa.
Sebagai contoh, mula-mula seorang
siswa mengamati model gurunya sendiri yang sedang melakukan sebuah perilaku
sosial, umpamanya menerima seorang tamu. Lalu, perbuatan menjawab salam,
berjabat tangan, beramah tamah, dan seterusnya yang dilakukan model itu diserap
oleh memori siswa tersebut. Diharapkan, cepat atau lambat siswa tersebut mampu
meniru sebaik-baiknya perbuatan sosial yang dicontohkan oleh modelnya itu.
Ranah psikologi siswa yang terpenting
adalah ranah kognitif. Ranah kejiwaan yang berkedudukan pada otak ini, dalam
perspektif psikologi kognitif, adalah sumber sekaligus pengendali ranah-ranah
kejiwaan lainnya yakni ranah afektif (rasa) dan ranah psikomotor (karsa). Otak
adalah sumber dan menara pengontrol bagi seluruh kegiatan kehidupan ranah-ranah
psikologis manusia. Otak tidak hanya berpikir dengan kesadaran, tetapi juga
berpikir dengan ketidaksadaran. Pemikiran tidak sadar sering terjadi pada diri
seseorang. Ketika sedang tidur misalnya, seseorang bermimpi, dan mimpi adalah
sebuah bentuk berpikir dengan gambar-gambar tanpa disadari. Kebiasaan bangun
subuh (tanpa dibangunkan oleh orang lain) dan siap mengerjakan rencana-rencana
harian, juga bentuk aktivitas otak yang dalam psikologi kognitif disebut
berpikir yang tak disadari oleh diri sendiri. Alhasil, ranah kognitif yang
dikendalikan oleh otak itu memang karunia Tuhan yang luar biasa dibandingkan
dengan organ-organ lainnya.
Tanpa ranah kognitif, sulit dibayangkan
seorang siswa dapat berpikir. Selanjutnya, tanpa kemampuan berpikir mustahil
siswa tersebut dapat memahami dan meyakini faedah materi-materi pelajaran yang
disajikan kepadanya. Tanpa berpikir juga sulit bagi siswa untuk menangkap
pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran yang ia ikuti,
termasuk materi pelajaran agama. Oleh karena itu, ada juga benarnya mutiara
hikmah berbunyi, “Agama adalah (memerlukan) akal, tiada beragama bagi orang
yang tidak berakal”.
REFERENSI
Sumantri,
Mulyani dkk.2007.Perkembangan Peserta
Didik.Cetakan ke-15.Jakarta:Universitas Terbuka
Syah,
Muhibbin. 2010. Psikologi Pendidikan.
Cetakan ke-15. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
No comments:
Post a Comment