Tuesday, April 15, 2014

MAKALAH HADITS SHOHIH

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Hadits merupakan sumber hukum umat islam kedua setelah Al-Qur’an. Apabila dalam Al-Qur’an tidak ditemui suatu hukum maka umat islam mencarinya dalam hadits-hadits Rasulullah saw. Hadits tidak hanya merupakan perkataan nabi, tapi ia juga meliputi perbuatan dan ketetapan Rasulullah SAW.
Hadits atau al-hadits menurut bahasa adalah al-jadid, yang artinya sesuatu yang baru, lawan dari al-Qadim ( lama ). Artinya berarti yang menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat, seperti  (orang yang baru memeluk islam). Hadis ini juga sering disebut dengan al-Khabar, yang artinya berita, yaitu sesuatu yang dipercaya atau dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, sama maknanya dengan hadis.
Hadits dilihat dari segi kualitas sanadnya dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dha’if. Pengertian hadits shahih adalah sebuah hadits yang sanadnya bersambung dan diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah, serta tidak ada cacat atau kekurangan dalam hadits tersebut. Atau dalam istilah lain tidak termasuk hadits yang syadz dan mu’allal.
Dalam makalah ini akan sedikit dijelaskan tentang pengertian hadits shahih, syarat-syarat bisa dimasukkan menjadi hadis shahih, macam-macamnya serta contohnya.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana arti secara bahasa maupun istilah dari hadits shahih?
2.      Bagaimana ciri-ciri hadits shahih?
3.      Bagaimana macam-macam hadits shahih?
4.      Bagaimana contoh-contoh hadits shahih?

C.    TUJUAN MASALAH
1.      Mengetahui arti hadits shahih menurut bahasa maupun istilah
2.      Mengetahui ciri-ciri hadits shahih
3.      Mengetahui macam-macam hadits shahih
4.      Mengetahui contoh-contoh hadits shahih















BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.    DEFINISI HADITS SHAHIH
Kata “shohih” juga telah menjadi kosakata bahasa Indonesia dengan arti “sah; benar, sempurna, sehat, pasti” (WJS. Poerwadarminta, 1985:849). Shohih menurut lughah bahasa lawan dari kata Saqim (Ibnu Taymiyah, 1989:31). Yang dimaksud dengan hadits shohih menurut Muhadditsin adalah hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatannya (hafalannya), sanadnya bersambung, tidak berilat, dan tidak janggal. (Fatchur Rahman,1995:95)
            Menurut Munzier Suparta (2002:127), gambaran mengenal pengertian hadits shohih agak jelas setelah Imam Syafi’i memberikan ketentuan bahwa riwayat suatu hadits dapat dijadikan hujjah, apabila:
1.      Diriwayatkan oleh para perawi yang dapat dipercaya pengalaman agamanya; dikenal sebagai orang yang jujur memahami dengan baik hadits yang diriwayatkan mengetahui perubahan arti hadits bila terjadi perubahan lafazhnya; mampu meriwayatkan hadits secara lafazh; terpelihara hafalannya, bila meriwayatkan hadits secara lafazh, bunyi hadits yang diriwayatkan sama dengan bunyi hadits yang diriwayatkan oleh orang lain; dan terlepas dari tadlis (penyembunyian cacat).
2.      Rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi SAW., atau dapat juga tidak sampai pada Nabi.
Imam Syafi’i dipandang sebagai ulama yang mula-mula menetapkan kaidah keshohihan hadits. Hal yang sangat logis, sebab bila dikaji pernyataan Imam Syafi’i tersebut bukan hanya berkaitan dengan sanad, akan tetapi berkaitan juga dengan matannya.
Jika berbicara tentang keshohihan hadits, maka dua tokoh yang popular sebagai “syekh” atau dipandang sebagai guru besar dalam masalah hadits adalah Bukhari dan Muslim. Keduanya dipandang sebagai tokoh ahli hadits dan hadits-hadits yang diriwayatkannya diakui sebagai hadits yang shohih. Sekalipun demikian, ternyata ketika itu, dibuat definisi hadits shohih secara tegas. Namun setelah para ulama mengadakan penelitian mengenal cara-vara ditempuh oleh keduanya untuk menetapkan suatu hadits yang bisa dijadikan hujjah, diperoleh suatu gambaran mengenal kriteria hadits shohih menurut keduanya. Kriteria-kriteria yang dimaksud adalah:
1.      Rangkaian perawinya dalam sanad itu harus bersambung mulai dari perawi pertama sampai perawi terakhir;
2.      Para perawinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal tsiqqat, dalam arti ‘adil dan dhabit;
3.      Haditsnya terhindar dari ‘illat (cacat) dan syadz (janggal); dan
4.      Para perawinya yang terdekat dalam sanad harus sezaman.
Hanya saja antara keduanya terjadi perbedaan pendapat mengenal persambungan sanad. Menurut Bukhari, sanad hadits dikatakan bersambung apabila antara perawi yang terdekat itu pernah bertemu, sekalipun hanya satu kali. Jika tidak cukup hanya sezaman (al-mu’asharah). Sedangkan menurut Muslim, apabila antara perawi yang terdekat hidup sezaman sudah dikategorikan bersambung. Disamping itu, persyaratan yang telah disepakati sebagaimana di atas, ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa Bukhari juga menetapkan syarat “terjadinya periwayatan harus dengan cara Al-Sama’”. Hal ini menunjukkan bahwa persyaratan hadits shohih yang ditetapkan oleh Imam Bukhari lebih ketat daripada persyaratan yang ditetapkan oleh Muslim (Munzier Suparta, 2002:128).
Definisi yang lebih ringkas dinyatakan oleh Al-Suyuthi. Menurutnya, hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dabit, tidak syaz dan tidak ber’illat.
Selanjutnya Ajjaj Al-Khathib memberi pengertian hadits shohih lebih rinci, yang merupakan hasil kajian terhadap beberapa pengertian yang diajukan para ulama ahli hadits yang hidup pada masa sebelumnya. Menurutnya, hadits shohih adalah hadits yang bersambung sanadnya dengan riwayat yang dapat dipercayai dari yang bisa dipercaya dari awal sanad hingga akhir sanad dengan tanpa ada cela dan cacatnya.
Jika dianalisa, terdapat beberapa persamaan dalam mendefinisikan hadits shohih, yaitu: sanadnya syad (janggal) dan tidak ada illat (cacat) baik dalan sanad maupun matannya. Berikut ini akan dijelaskan secara rinci dalam syarat-syarat hadits shohih.
Para ulama telah memberikan definisi hadits shohih sebagai hadits yang telah diakui dan disepakati kebenarannya oleh para ahli hadits. Namun berikut ini ada suatu definisi yang bebas dari cacat dan kritik, sebagai berikut:
Hadits Shohih adalah hadits yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan shabith dari wari lain yang juga adil dan dhabith sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak itu tidak janggal serta tidak mengandung cacat (illat).

B.     SYARAT-SYARAT HADITS SHOHIH
a.      Mengenai matan
1.      Semua rawi dalam sanad haruslah bersifat adil, yakni:
-          Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi perbuatan maksiat
-          Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun
-          Tidak melakukan perkara-perkara Mubah yang dapat menggugurkan iman kepada kadar dan mengakibatkan penyesalan
-          Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan dasar Syara’
Keadilan rawi merupakan faktor penentu bagi diterimanya suatu riwayat. Karena Menurut al-Razi keadilan adalah jiwa yang mendorong untuk selalu bertindak taqwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang menodai muru’ah, seperti makan sambil berdiri di jalan, buang air (kencing) di tempat yang bukan disediakan untuknya dan bergurau yang berlebih-lebihan.
2.      Semua rawi dalam sanad haruslah bersifat dhabit. Rawi yang dhabit adalah rawi yang kuat hapalan, sehingga dapat menyimpan hadits-hadits dengan baik dan benar. Juga dipandang rawi yang cermat mencatat, membukukan hadits-hadits dan mampu mengungkapkan kembali dengan cakap, sehingga tidak bercampur aduk dengan catatan-catatan lain.
Dhabit ada dua macam, yaitu:
1)      Dhabit al-shadri, yakni seorang yang mempunyai daya hafal dan ingatan yang kuat, serta daya faham yang tinggi, sejak dari menerima sampai pada menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan dimana saja dikehendakinya.
2)      Dhabit al-kitab, yaitu seorang yang dhabit atau crmat memelihara catatan atau buku yang ia terima
Unsur-unsur dhabit adalah:
1)      Tidak pelupa
2)      Hapal terhadap apa yang didiktekan kepada muridnya bila ia memberikan hadits dengan hapalan, dan terjaga kitabnya dari kelemahan bila meriwayatkan hadits dengan kitabnya.
3)      Menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan mengetahui makna yang dapat mengalihkan maksud, bila ia meriwayatkan hadits menurut maknanya saja. Rawi yang adil dan dhabit disebut tsiqat.
3.      Sanadnya bersambung. Rawi tingkatan sahabat Nabi (tingkatan pertama) benar-benar berjumpa dan menyampaikan hadits pada wari tingkatan kedua. Demikian pula rawi tingkatan kedua dengan rawi ke tingkatan ketiga dan seterusnya.
4.      Tidak rancu (syad)
Kerancuan (syad) adalah suatu kondisi dimana seorang rawi berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya. Keadaan semacam ini dipandang rancu karena ia berbeda dengan rawi lain lebih kuat posisinya baik dari segi kekuatan daya hapalannya atau jumlah mereka lebih banyak sehingga harus diunggulkan. Dan karena kerancuannya maka timbullah penilaian negatif terhadap periwayatan hadits yang bersangkutan.
5.      Tidak ada cacat
Yang dimaksud dengan tidak ada cacat disini adalah terbebas dari cacat-cacat keshahihan pada sanad seperti pemalsuan rawi.
b.      Mengenai matan
1.      Pengertian yang terkandung dalam matan tidak boleh bertentangan dengan ayat al-quran atau hadits mutawatir walaupun keadaan rawi sudah memenuhi syarat. Bila matan hadits itu dinilai bertentangan dengan ayat al-Quran atau hadits mutawatir, maka hadits itu tidak dipandang hadits shahih.
2.      Pengertian matan tidak bertentangan dengan pendapat yang disepakati (ijmak) ulama, atau tidak bertentangan dengan keterangan ilmiah yang kebenarannya dapat dipastikan secara sepakat oleh para ilmuwan.
3.      Tidak ada kejanggalan lainnya, jika dibandingkan dengan matan hadits yang lebih tinggi tingkatan dan kedudukannya.
Persyaratan di atas dijadikan sebagai ukuran keshahihan hadits dapat dipahami karena faktor keadilan dan kedhabitan rawi dapat menjamin keaslian hadits yang diriwayatkan seperti keadaan ketika hadits itu diterima dari orang yang mengucapkannya.
Bersambungnya sanad dengan para perawinya yang kondisinya demikian dapat menghindarkan tercemarnya hadits yang bersangkutan dalam perjalanannya dari Rasulullah SAW sampai rawi terakhir. Tidak adanya kejanggalan dalam matan atau sanad itu merupakan bukti keaslian dan ketetapan hadits yang bersangkutan serta menunjukkan bahwa padanya tidak terdapat hal-hal yang janggal dan cacat.
Tidak adanya cacat menunjukkan keselamatan hadits yang bersangkutan dari hal-hal yang samar yang membuatnya cacat setelah dihadapkan pada syarat-syarat keshahihan lainnya yang berfungsi untuk meneliti faktor-faktor lahiriah.

C.    JENIS-JENIS HADITS SHOHIH
Para ulama hadits membagi hadits shohih ini dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a.       Shahih li dzatihi, yaitu hadits yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat hadits maqbul secara sempurna, yaitu syarat-syarat yang lima sebagaimana tersebut di atas.
Contoh:
“Bukhari berkata, “Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apabila mereka bertiga, janganlah dua orang berbisik tanpa ikut serta orang ketiga.” (HR Bukhari)

Hadits di atas diterima oleh Bukhari dari Abdullah bin Yusuf, Abdullah bin Yusuf menerimanya dari Malik, Malik menerimanya dari Nafi’, Nafi’ menerimanya dari Abdullah, dan Abdullah itulah sahabat Nabi yang mendengan Nabi SAW bersabda, seperti tercantum di atas.

Semua nama-nama tersebut, mulai dari Bukhari sampai dengan Abdullah (sahabat) adalah rawi-rawi yang adil, dhabit, dan benar-benar bersambung, tidak ada cacat, baik pada sanad maupun pada matan. Dengan demikian hadits di atas termasuk hadits shahih lizatih


b.      Shohih Li Ghairihi, yaitu hadits yang tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi dari sifat sebuah hadits maqbul (a’la sifat al-qubul). Hal itu bisa terjadi karena ada beberapa hal, misalnya saja perawinya sudah diketahui adil tapi dari sisi kedhabitannya ia dinilai kurang. Hadits ini menjadi shohih karena ada hadits lain yang sama atau sepadan (redaksinya) diriwayatkan melalui jalur lain yang setingkat atau malah lebih shohih.
Contoh hadits hasan li dzatihi yang naik derajatnya menjadi hadits shohih li ghairihi adalah salah satu hadits riwayat Bukhari, yaitu:
“jika tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak pada setiap kali hendak melaksanakan shalat”. (HR. Bukhari)

Menurut Ibnu Al-Shalah, bahwa Muhammad bin ‘Amradalah terkenal sebagai orang yang jujur, akan tetapi kedhabitannya kurang sempurna, sehingga hadits riwayatnya hanya sampai pada tingkat hasan. Hadits tersebut pada mulanya adalah hadits hasan li dzatihi. Karena ada riwayat lain yang diriwayatkan melalui jalur Al-A’raj pada contoh di atas, maka hadits hasan tersebut naik derajatnya menjadi hadits shohih li ghairihi.

Kesimpulannya, perbedaan antara kedua bagian hadits ini terletak pada segi kedhabitan perawinya. Pada shohih li dzatihi ingatan perawinya sempurna, sedangkan pada hadits shohih li ghairihi, ingatan perawinya kurang sempurna (qalil al-dhabth). Oleh karena itu, ada yang mendefinisikan hadits shohih li ghairihi ini dengan :
“Hadits yang tidak memenuhi sifat-sifat hadits maqbul secara sempurna, yaitu hadits yang asalnya bukan hadits shohih, akan tetapi naik derajatnya menjadi hadits shohih lantaran ada faktor pendukung yang dapat menutupi kekurangan yang ada pada dirinya”.




D.    CONTOH HADITS SHOHIH
Di antara hadits-hadits shahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim338). Mereka berkata :
Meriwayatkan kepada kami Qutaibah bin Said ia berkata: “Meriwayatkan kepada kami Jarir dari ‘Umarah bin Al-Qa’qa’ dari Abu Zur’ah dari Abu Hurairah, ia berkata: ’Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah saw., lalu berkata: ‘Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuanku yang baik?’ Rasulullah menjawab: ‘Ibumu.’ Orang itu bertanya : ‘Kemudian siapa?’ Rasulullah menjawab: ‘Ibumu.’ Orang itu bertanya lagi: ‘Kemudian siapa?’ Rasulullah menjawab: ‘Ibumu.’ Orang itu kembali bertanya: ‘Kemudian siapa?’ Rasulullah menjawab: ‘Kemudian bapakmu.’”

Sanad hadits di atas bersambung melalui pendengaran orang yang adil dan dhabith dari orang yang semisalnya. Al-Bukhari dan Muslim adalah dua orang imam yang agung dalam bidang ini. Dan guru mereka, Qutaibah bin Said, adalah orang yang tsiqat dan tsabt serta berkedudukan tinggi.
Jarir adalah putra Abdul Hamid, seorang rawi yang tsiqat dan shohih kitabnya. Ada yang mengatakan bahwa pada akhir hayatnya ia meragukan apabila ia telah meriwayatkan berdasarkan hafalannya. Namun hal itu tidak menjadi masalah karena Qutaibah bin Said adalah seorang muridnya yang senior dan telah lebih dahulu mendengar hadits-haditsnya.
‘Umarah bin Al-Qa’qa’ juga seorang yang tsiqat. Demikian pula Abu Zur’ah al-Tabi’i. Ia adalah putra ‘Amr bin Jarir bin Abdullah al-Bajali.
Para rawi dalam sanad di atas seluruhnya orang tsiqat dan dipakai berhujah oleh para imam. Untaian sanad di atas telah dikenal di kalangan muhadditsin, dan padanya tidak terdapat hal-hal yang janggal. Demikian pula matan hadits tersebut sesuai dengan dalil-dalil lain tentang masalah yang sama. Jadi hadits tresebut termasuk hadits shohih dengan sendirinya (shohih lidzatihi).


BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Hadits Shohih adalah hadits yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan shabith dari wari lain yang juga adil dan dhabith sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak itu tidak janggal serta tidak mengandung cacat (illat).
Syarat agar hadits Shahih dapat diterima yaitu rawinya bersifat ‘adil, rawinya sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ada ‘illat, dan tidak janggal (Syad).
Bentuk-bentuk hadits shahih itu ada dua yaitu hadits Shahih li dzatihi dan hadits Shohih Li Ghairihi.



















DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Maulana, dkk.2000.Ulumul Hadits.Bandung: CV Pustaka Setika
Herdy, Asep.2010.Ilmu Hadits.Bandung: CV Insan Mandiri

Soetari, Endang.2008.Ilmu Hadist Kajian Riwayah dan Dirayah.Bandung: CV Mimbar Pustaka

No comments:

Post a Comment