BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hadits merupakan sumber hukum umat islam kedua
setelah Al-Qur’an. Apabila dalam Al-Qur’an tidak ditemui suatu hukum maka umat
islam mencarinya dalam hadits-hadits Rasulullah saw. Hadits tidak hanya
merupakan perkataan nabi, tapi ia juga meliputi perbuatan dan ketetapan
Rasulullah SAW.
Hadits atau al-hadits menurut bahasa adalah
al-jadid, yang artinya sesuatu yang baru, lawan dari al-Qadim ( lama ). Artinya
berarti yang menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat,
seperti (orang yang baru memeluk islam).
Hadis ini juga sering disebut dengan al-Khabar, yang artinya berita, yaitu
sesuatu yang dipercaya atau dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada
orang lain, sama maknanya dengan hadis.
Hadits dilihat dari segi kualitas sanadnya dapat
dibedakan menjadi tiga, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dha’if.
Pengertian hadits shahih adalah sebuah hadits yang sanadnya bersambung dan diriwayatkan
oleh rawi yang tsiqah, serta tidak ada cacat atau kekurangan dalam hadits
tersebut. Atau dalam istilah lain tidak termasuk hadits yang syadz dan
mu’allal.
Dalam makalah ini akan sedikit dijelaskan tentang
pengertian hadits shahih, syarat-syarat bisa dimasukkan menjadi hadis shahih,
macam-macamnya serta contohnya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana
arti secara bahasa maupun istilah dari hadits shahih?
2. Bagaimana
ciri-ciri hadits shahih?
3. Bagaimana
macam-macam hadits shahih?
4. Bagaimana
contoh-contoh hadits shahih?
C. TUJUAN MASALAH
1. Mengetahui
arti hadits shahih menurut bahasa maupun istilah
2. Mengetahui
ciri-ciri hadits shahih
3. Mengetahui
macam-macam hadits shahih
4. Mengetahui
contoh-contoh hadits shahih
BAB II
HASIL DAN
PEMBAHASAN
A.
DEFINISI
HADITS SHAHIH
Kata “shohih” juga telah menjadi kosakata bahasa
Indonesia dengan arti “sah; benar, sempurna, sehat, pasti” (WJS.
Poerwadarminta, 1985:849). Shohih menurut lughah bahasa lawan dari kata Saqim (Ibnu Taymiyah, 1989:31). Yang
dimaksud dengan hadits shohih menurut Muhadditsin adalah hadits yang dinukil
(diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatannya (hafalannya), sanadnya
bersambung, tidak berilat, dan tidak janggal. (Fatchur Rahman,1995:95)
Menurut Munzier Suparta (2002:127),
gambaran mengenal pengertian hadits shohih agak jelas setelah Imam Syafi’i
memberikan ketentuan bahwa riwayat suatu hadits dapat dijadikan hujjah,
apabila:
1. Diriwayatkan
oleh para perawi yang dapat dipercaya pengalaman agamanya; dikenal sebagai
orang yang jujur memahami dengan baik hadits yang diriwayatkan mengetahui
perubahan arti hadits bila terjadi perubahan lafazhnya; mampu meriwayatkan hadits
secara lafazh; terpelihara hafalannya, bila meriwayatkan hadits secara lafazh,
bunyi hadits yang diriwayatkan sama dengan bunyi hadits yang diriwayatkan oleh
orang lain; dan terlepas dari tadlis (penyembunyian cacat).
2. Rangkaian
riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi SAW., atau dapat juga tidak sampai
pada Nabi.
Imam Syafi’i dipandang sebagai ulama
yang mula-mula menetapkan kaidah keshohihan hadits. Hal yang sangat logis,
sebab bila dikaji pernyataan Imam Syafi’i tersebut bukan hanya berkaitan dengan
sanad, akan tetapi berkaitan juga dengan matannya.
Jika berbicara tentang keshohihan
hadits, maka dua tokoh yang popular sebagai “syekh” atau dipandang sebagai guru
besar dalam masalah hadits adalah Bukhari dan Muslim. Keduanya dipandang
sebagai tokoh ahli hadits dan hadits-hadits yang diriwayatkannya diakui sebagai
hadits yang shohih. Sekalipun demikian, ternyata ketika itu, dibuat definisi
hadits shohih secara tegas. Namun setelah para ulama mengadakan penelitian
mengenal cara-vara ditempuh oleh keduanya untuk menetapkan suatu hadits yang
bisa dijadikan hujjah, diperoleh suatu gambaran mengenal kriteria hadits shohih
menurut keduanya. Kriteria-kriteria yang dimaksud adalah:
1. Rangkaian
perawinya dalam sanad itu harus bersambung mulai dari perawi pertama sampai
perawi terakhir;
2. Para
perawinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal tsiqqat, dalam arti ‘adil
dan dhabit;
3. Haditsnya
terhindar dari ‘illat (cacat) dan syadz (janggal); dan
4. Para
perawinya yang terdekat dalam sanad harus sezaman.
Hanya saja antara keduanya terjadi
perbedaan pendapat mengenal persambungan sanad. Menurut Bukhari, sanad hadits
dikatakan bersambung apabila antara perawi yang terdekat itu pernah bertemu,
sekalipun hanya satu kali. Jika tidak cukup hanya sezaman (al-mu’asharah).
Sedangkan menurut Muslim, apabila antara perawi yang terdekat hidup sezaman
sudah dikategorikan bersambung. Disamping itu, persyaratan yang telah
disepakati sebagaimana di atas, ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa
Bukhari juga menetapkan syarat “terjadinya periwayatan harus dengan cara
Al-Sama’”. Hal ini menunjukkan bahwa persyaratan hadits shohih yang ditetapkan
oleh Imam Bukhari lebih ketat daripada persyaratan yang ditetapkan oleh Muslim
(Munzier Suparta, 2002:128).
Definisi yang lebih ringkas dinyatakan
oleh Al-Suyuthi. Menurutnya, hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh
perawi yang adil lagi dabit, tidak syaz dan tidak ber’illat.
Selanjutnya Ajjaj Al-Khathib memberi
pengertian hadits shohih lebih rinci, yang merupakan hasil kajian terhadap
beberapa pengertian yang diajukan para ulama ahli hadits yang hidup pada masa
sebelumnya. Menurutnya, hadits shohih adalah hadits yang bersambung sanadnya
dengan riwayat yang dapat dipercayai dari yang bisa dipercaya dari awal sanad
hingga akhir sanad dengan tanpa ada cela dan cacatnya.
Jika dianalisa, terdapat beberapa
persamaan dalam mendefinisikan hadits shohih, yaitu: sanadnya syad (janggal)
dan tidak ada illat (cacat) baik dalan sanad maupun matannya. Berikut ini akan
dijelaskan secara rinci dalam syarat-syarat hadits shohih.
Para ulama telah memberikan definisi
hadits shohih sebagai hadits yang telah diakui dan disepakati kebenarannya oleh
para ahli hadits. Namun berikut ini ada suatu definisi yang bebas dari cacat
dan kritik, sebagai berikut:
Hadits Shohih adalah hadits yang bersambung
sanadnya, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan shabith dari wari lain yang
juga adil dan dhabith sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak itu tidak
janggal serta tidak mengandung cacat (illat).
B.
SYARAT-SYARAT
HADITS SHOHIH
a.
Mengenai
matan
1. Semua
rawi dalam sanad haruslah bersifat adil, yakni:
-
Selalu memelihara perbuatan taat dan
menjauhi perbuatan maksiat
-
Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat
menodai agama dan sopan santun
-
Tidak melakukan perkara-perkara Mubah
yang dapat menggugurkan iman kepada kadar dan mengakibatkan penyesalan
-
Tidak mengikuti pendapat salah satu
madzhab yang bertentangan dasar Syara’
Keadilan rawi merupakan faktor penentu
bagi diterimanya suatu riwayat. Karena Menurut al-Razi keadilan adalah jiwa
yang mendorong untuk selalu bertindak taqwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi
kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah
yang menodai muru’ah, seperti makan sambil berdiri di jalan, buang air
(kencing) di tempat yang bukan disediakan untuknya dan bergurau yang
berlebih-lebihan.
2. Semua
rawi dalam sanad haruslah bersifat dhabit. Rawi yang dhabit adalah rawi yang kuat
hapalan, sehingga dapat menyimpan hadits-hadits dengan baik dan benar. Juga
dipandang rawi yang cermat mencatat, membukukan hadits-hadits dan mampu
mengungkapkan kembali dengan cakap, sehingga tidak bercampur aduk dengan
catatan-catatan lain.
Dhabit ada dua macam,
yaitu:
1) Dhabit
al-shadri, yakni seorang yang mempunyai daya hafal dan ingatan yang kuat, serta
daya faham yang tinggi, sejak dari menerima sampai pada menyampaikan kepada
orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan dimana saja dikehendakinya.
2) Dhabit
al-kitab, yaitu seorang yang dhabit atau crmat memelihara catatan atau buku
yang ia terima
Unsur-unsur
dhabit adalah:
1) Tidak
pelupa
2) Hapal
terhadap apa yang didiktekan kepada muridnya bila ia memberikan hadits dengan
hapalan, dan terjaga kitabnya dari kelemahan bila meriwayatkan hadits dengan
kitabnya.
3) Menguasai
apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan mengetahui makna yang dapat
mengalihkan maksud, bila ia meriwayatkan hadits menurut maknanya saja. Rawi
yang adil dan dhabit disebut tsiqat.
3. Sanadnya
bersambung. Rawi tingkatan sahabat Nabi (tingkatan pertama) benar-benar
berjumpa dan menyampaikan hadits pada wari tingkatan kedua. Demikian pula rawi
tingkatan kedua dengan rawi ke tingkatan ketiga dan seterusnya.
4. Tidak
rancu (syad)
Kerancuan (syad) adalah
suatu kondisi dimana seorang rawi berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat
posisinya. Keadaan semacam ini dipandang rancu karena ia berbeda dengan rawi
lain lebih kuat posisinya baik dari segi kekuatan daya hapalannya atau jumlah mereka
lebih banyak sehingga harus diunggulkan. Dan karena kerancuannya maka timbullah
penilaian negatif terhadap periwayatan hadits yang bersangkutan.
5. Tidak
ada cacat
Yang dimaksud dengan
tidak ada cacat disini adalah terbebas dari cacat-cacat keshahihan pada sanad
seperti pemalsuan rawi.
b.
Mengenai
matan
1. Pengertian
yang terkandung dalam matan tidak boleh bertentangan dengan ayat al-quran atau
hadits mutawatir walaupun keadaan rawi sudah memenuhi syarat. Bila matan hadits
itu dinilai bertentangan dengan ayat al-Quran atau hadits mutawatir, maka
hadits itu tidak dipandang hadits shahih.
2. Pengertian
matan tidak bertentangan dengan pendapat yang disepakati (ijmak) ulama, atau
tidak bertentangan dengan keterangan ilmiah yang kebenarannya dapat dipastikan
secara sepakat oleh para ilmuwan.
3. Tidak
ada kejanggalan lainnya, jika dibandingkan dengan matan hadits yang lebih
tinggi tingkatan dan kedudukannya.
Persyaratan di atas dijadikan sebagai
ukuran keshahihan hadits dapat dipahami karena faktor keadilan dan kedhabitan rawi
dapat menjamin keaslian hadits yang diriwayatkan seperti keadaan ketika hadits
itu diterima dari orang yang mengucapkannya.
Bersambungnya sanad dengan para
perawinya yang kondisinya demikian dapat menghindarkan tercemarnya hadits yang
bersangkutan dalam perjalanannya dari Rasulullah SAW sampai rawi terakhir.
Tidak adanya kejanggalan dalam matan atau sanad itu merupakan bukti keaslian
dan ketetapan hadits yang bersangkutan serta menunjukkan bahwa padanya tidak
terdapat hal-hal yang janggal dan cacat.
Tidak adanya cacat menunjukkan
keselamatan hadits yang bersangkutan dari hal-hal yang samar yang membuatnya
cacat setelah dihadapkan pada syarat-syarat keshahihan lainnya yang berfungsi
untuk meneliti faktor-faktor lahiriah.
C.
JENIS-JENIS
HADITS SHOHIH
Para ulama hadits membagi hadits shohih
ini dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Shahih
li dzatihi, yaitu hadits yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat hadits
maqbul secara sempurna, yaitu syarat-syarat yang lima sebagaimana tersebut di
atas.
Contoh:
“Bukhari berkata,
“Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah SAW
bersabda, “Apabila mereka bertiga, janganlah dua orang berbisik tanpa ikut
serta orang ketiga.” (HR Bukhari)
Hadits di atas diterima
oleh Bukhari dari Abdullah bin Yusuf, Abdullah bin Yusuf menerimanya dari
Malik, Malik menerimanya dari Nafi’, Nafi’ menerimanya dari Abdullah, dan
Abdullah itulah sahabat Nabi yang mendengan Nabi SAW bersabda, seperti
tercantum di atas.
Semua nama-nama
tersebut, mulai dari Bukhari sampai dengan Abdullah (sahabat) adalah rawi-rawi
yang adil, dhabit, dan benar-benar bersambung, tidak ada cacat, baik pada sanad
maupun pada matan. Dengan demikian hadits di atas termasuk hadits shahih
lizatih
b. Shohih
Li Ghairihi, yaitu hadits yang tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat
tertinggi dari sifat sebuah hadits maqbul (a’la sifat al-qubul). Hal itu bisa
terjadi karena ada beberapa hal, misalnya saja perawinya sudah diketahui adil
tapi dari sisi kedhabitannya ia dinilai kurang. Hadits ini menjadi shohih
karena ada hadits lain yang sama atau sepadan (redaksinya) diriwayatkan melalui
jalur lain yang setingkat atau malah lebih shohih.
Contoh hadits hasan li
dzatihi yang naik derajatnya menjadi hadits shohih li ghairihi adalah salah
satu hadits riwayat Bukhari, yaitu:
“jika tidak memberatkan
pada umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak pada setiap kali hendak
melaksanakan shalat”. (HR. Bukhari)
Menurut Ibnu Al-Shalah,
bahwa Muhammad bin ‘Amradalah terkenal sebagai orang yang jujur, akan tetapi
kedhabitannya kurang sempurna, sehingga hadits riwayatnya hanya sampai pada
tingkat hasan. Hadits tersebut pada mulanya adalah hadits hasan li dzatihi.
Karena ada riwayat lain yang diriwayatkan melalui jalur Al-A’raj pada contoh di
atas, maka hadits hasan tersebut naik derajatnya menjadi hadits shohih li
ghairihi.
Kesimpulannya,
perbedaan antara kedua bagian hadits ini terletak pada segi kedhabitan
perawinya. Pada shohih li dzatihi ingatan perawinya sempurna, sedangkan pada
hadits shohih li ghairihi, ingatan perawinya kurang sempurna (qalil al-dhabth).
Oleh karena itu, ada yang mendefinisikan hadits shohih li ghairihi ini dengan :
“Hadits
yang tidak memenuhi sifat-sifat hadits maqbul secara sempurna, yaitu hadits
yang asalnya bukan hadits shohih, akan tetapi naik derajatnya menjadi hadits
shohih lantaran ada faktor pendukung yang dapat menutupi kekurangan yang ada
pada dirinya”.
D.
CONTOH
HADITS SHOHIH
Di antara hadits-hadits shahih adalah hadits yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim338). Mereka berkata :
Meriwayatkan kepada kami Qutaibah bin Said ia
berkata: “Meriwayatkan kepada kami Jarir dari ‘Umarah bin Al-Qa’qa’ dari Abu
Zur’ah dari Abu Hurairah, ia berkata: ’Datang seorang laki-laki kepada
Rasulullah saw., lalu berkata: ‘Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling
berhak mendapatkan perlakuanku yang baik?’ Rasulullah menjawab: ‘Ibumu.’ Orang
itu bertanya : ‘Kemudian siapa?’ Rasulullah menjawab: ‘Ibumu.’ Orang itu
bertanya lagi: ‘Kemudian siapa?’ Rasulullah menjawab: ‘Ibumu.’ Orang itu
kembali bertanya: ‘Kemudian siapa?’ Rasulullah menjawab: ‘Kemudian bapakmu.’”
Sanad hadits di atas bersambung melalui pendengaran
orang yang adil dan dhabith dari
orang yang semisalnya. Al-Bukhari dan Muslim adalah dua orang imam yang agung
dalam bidang ini. Dan guru mereka, Qutaibah bin Said, adalah orang yang tsiqat dan tsabt serta berkedudukan tinggi.
Jarir adalah putra Abdul Hamid, seorang rawi yang tsiqat dan shohih kitabnya. Ada yang
mengatakan bahwa pada akhir hayatnya ia meragukan apabila ia telah meriwayatkan
berdasarkan hafalannya. Namun hal itu tidak menjadi masalah karena Qutaibah bin
Said adalah seorang muridnya yang senior dan telah lebih dahulu mendengar
hadits-haditsnya.
‘Umarah bin Al-Qa’qa’ juga seorang yang tsiqat. Demikian pula Abu Zur’ah al-Tabi’i.
Ia adalah putra ‘Amr bin Jarir bin Abdullah al-Bajali.
Para rawi dalam sanad di atas seluruhnya orang tsiqat dan dipakai berhujah oleh para
imam. Untaian sanad di atas telah dikenal di kalangan muhadditsin, dan padanya
tidak terdapat hal-hal yang janggal. Demikian pula matan hadits tersebut sesuai
dengan dalil-dalil lain tentang masalah yang sama. Jadi hadits tresebut
termasuk hadits shohih dengan sendirinya (shohih lidzatihi).
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hadits Shohih adalah hadits yang bersambung
sanadnya, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan shabith dari wari lain yang
juga adil dan dhabith sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak itu tidak
janggal serta tidak mengandung cacat (illat).
Syarat agar hadits Shahih dapat diterima yaitu rawinya
bersifat ‘adil, rawinya sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ada
‘illat, dan tidak janggal (Syad).
Bentuk-bentuk hadits shahih itu ada dua yaitu hadits
Shahih li dzatihi dan hadits Shohih Li Ghairihi.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Maulana,
dkk.2000.Ulumul Hadits.Bandung: CV
Pustaka Setika
Herdy, Asep.2010.Ilmu Hadits.Bandung: CV Insan Mandiri
Soetari, Endang.2008.Ilmu Hadist Kajian Riwayah dan Dirayah.Bandung:
CV Mimbar Pustaka
No comments:
Post a Comment