a.
Proses
Perkembangan Motor
Mula-mula seorang anak yang baru lahir hanya
memiliki sedikit sekali kendali terhadap aktivitas alat-alat jasmaninya.
Setelah berusia empat bulan, bayi itu sudah mulai mampu duduk dengan bantuan
sanggaan dan dapat pula meraih dan menggenggam benda-benda mainannya yang
sering hilang dari pandangannya. Kini ia telah memiliki “grasp reflex” yakni
gerakan otomatis untu menggenggam. Ini refleks primitif yang diwariskan oleh
nenek moyangnya tanpa perlu dipelajari.
Respons otomatis yang juga dimiliki seorang bayi
sebagai bekal dan dasar perkembangannya ialah “rootng reflex” yakni gerakan
kepala dan mulut yang otomatis setiap pipinya disentuh, kepalanya akan berbalik
atau bergerak ke arah datangnya rangsangan, atau mulutnya terbuka dan terus mencari
hingga mencapai puting susu atau dot susu yang telah disediakan untuknya.
Bekal psikologis selanjutnya yaitu kapasitas
sensori. Kapasitas sensori seorang bayi lazimnya mulai berlaku bersama-sama
dengan berlakunya refeleks-refleks motor tadi, bahkan terkadang dengan kualitas
yang lebih baik. Hal ini terbukti dengan adanya kemampuan pengaturan napas,
penyedotan, dan tanda-tanda respons terhadap stimulus lainnya. Berkat adanya
bekal kapasitas sensori, bayi dapat mendengar baik bahkan mampu membedakan antara
suara yang keras dan kasar dengan suara lembut ibunya atau suara lembut
wanita-wanita lainnya.
Ketika seorang anak memasuki sekolah dasar (6-12
tahun), perkembangan fisiknya mulai tampak benar-benar seimbang dan
proporsional. Artinya, organ-organ jasmani tumbuh serasi dan tidak lebih
panjang atau lebih besar dari yang semestinya. Misalnya ukuran tangan kanan
lebih panjang daripada tangan kiri atau ukuran leher tidak lebih besar daripada
ukuran kepala yang disangganggnya.
Gerakan-gerakan tubuh anak juga menjadi lincah dan
terarah seiring dengan munculnya keberanian mentalnya. Contoh: jika dalam usia
TK tidak berani memanjat pohon dan melompati pagar, pada usia sekolah ia akan
menunjukkkan keberanian melakukan itu. Hal ini disebabkan perkembangan
kapasitas mental, juga adanya keseimbangan dan keselarasan gerakan organ-organ
tubuh anak.
Perkembangan motor siswa akan terus meningkat,
beranekaragam, keseimbangan, dan kekuatan ketika ia menduduki bangku SLTP dan
SLTA. Namun, peningkatan kualitas bawaan siswa ini justru membawa konsekuensi
sendiri, yakni perlunya pengadaan guru yang lebih piawai dan terampil.
Kepiawaian guru dalam hal ini bukan hanya menyangkut cara melatih keterampilan
para siswa, melainkan juga kepiawaian yang berhubungan dengan penyampaian ilmu tentang
alasan dan cara keterampilan tersebut dilakukan.
Belajar keterampilan fisik dianggap telah terjadi
dalam diri seseorang apabila ia telah memperoleh kemampuan dan keterampilan
yang melibatkan tangan (seperti menggambar) dan tungkai (seperti berlari)
secara baik dan benar. Untuk memperoleh hal itu, ia tidak hanya cukup dengan
latihan dan praktik, tetapi juga memerlukan kegiatan perceptual learning
(belajar berdasarkan pengamatan) atau kegiatan sensory-motor learning (belajar
keterampilan indriawi-jasmani).
b.
Perkembangan
Motor Skill
Ada empat faktor yang mendorong kelanjutan
perkembangan motor skills anak yang memungkinkan campur tangan orangtua dan
guru dalam mengarahkannya, yaitu:
1) Pertumbuhan
dan perkembangan sistem syaraf;
2) Pertumbuhan
otot-otot;
3) Pertumbuhan
dan perkembangan fungsi kelenjar endokrin; dan
4) Perubahan
struktur jasmani
Perkembangan motorik adalah perkembangan saraf
motorik kasar dan halus anak:
1. Motorik
kasar merupakan gerakan fisik yang membutuhkan keseimbangan dan koordinasi
antar anggota tubuh, dengan menggunakan otot-otot besar, sebagian atau seluruh
anggota tubuh. Contohnya, berjalan, berlari, berlompat, dan sebagainya.
Sedangkan motorik halus adalah kemampuan yang berhubungan dengan keterampilan
fisik yang melibatkan otot kecil dan koordinasi mata-tangan. Saraf motorik
halus ini dapat dilatih dan dikembangkan melalui kegiatan dan rangsangan yang
kontinu secara rutin. Seperti, bermain puzzle, dan sebagainya.
Anak
yang terampil dan menguasai gerakan motoriknya, umumnya memiliki fisik yang
sehat lantaran banyak bergerak. Keterampilan motorik tersebut tentunya
memengaruhi kemandirian dan rasa percaya diri anak dalam mengerjakan sesuatu,
karena ia sadar akan kemampuan fisiknya. Pada usia balita ini terjadi kemajuan
yang besar dalam keterampilan motorik kasar, seperti berlari, melompat yang
melibatkan penggunaan otot besar. Hal ini didukung dengan perkembangan daerah
sensoris dan motor pada korteks yang memunginkan koordinasi yang lebih baik
antara apa yang diinginkan oleh anak dan apa yang dapat dilakukannya. Tulang
dan otot mereka semakin besar sehingga memungkinkan mereka untuk berlari,
melompat dan memanjat lebih cepat, lebih jauh dan lebih baik. Seiring dengan
pengembangan kedua keterampilan tersebut, anak balita terus menggabungkan
berbagai kemampuan yang telah mereka miliki dengan yang baru mereka dapatkan,
untuk menghasilkan kemampuan yang lebih kompleks.
Motorik
kasar merupakan gerakan fisik yang membutuhkan keseimbangan dan koordinasi
antar anggota tubuh, dengan menggunakan otot-otot besar, sebagian atau seluruh
anggota tubuh. Contohnya, berjalan, berlari, berlompat, dan sebagainya.
Perkembangan
motorik kasar pada bayi memiliki rangkaian tahapan yang berurutan. Artinya
setiap tahapan harus dilalui dan dikuasai dulu sebelum memasuki tahapan
selanjutnya. Tidak semua bayi akan menguasai suatu keterampilan di usia yang
sama, karena perkembangan anak bersifat individual. Tapi perbedaan itu tidak disebabkan
bayi yang satu lebih pandai daripada bayi yang lain. Perkembangan keterampilan
tidak ada pengaruhnya langsung dengan kecerdasan.
2. Kemampuan
motorik halus adalah kemampuan yang berhubungan dengan keterampilan fisik yang
melibatkan otot kecil dan koordinasi mata-tangan. Saraf motorik halus ini dapat
dilatih dan dikembangkan melalui kegiatan dan rangsangan yang kontinu secara
rutin. Seperti, bermain puzzle, menyusun balok, memasukan benda ke dalam lubang
sesuai bentuknya, membuat garis, melipat kertas dan sebagainya.
Kecerdasan
motorik halus anak berbeda-beda. Dalam hal kekuatan maupun ketepatannya.
perbedaan ini juga dipengaruhi oleh pembawaan anak dan stimulai yang
didapatkannya. Lingkungan (orang tua) mempunyai pengaruh yang lebih besar dalam
kecerdasan motorik halus anak. Lingkungan dapat meningkatkan ataupun menurunkan
taraf kecerdasan anak, terutama pada masa-masa pertama kehidupannya.
Setiap
anak mampu mencapai tahap perkembangan motorik halus yang optimal asal
mendapatkan stimulasi tepat. Di setiap fase, anak membutuhkan rangsangan untuk
mengembangkan kemampuan mental dan motorik halusnya. Semakin banyak yang
dilihat dan didengar anak, semakin banyak yang ingin diketahuinya. Jika kurang
mendapatkan rangsangan anak akan bosan. Tetapi bukan berarti anda boleh memaksa
si kecil. Tekanan, persaingan, penghargaan, hukuman, atau rasa takut dapat
mengganggu usaha dilakukan si kecil.
c.
Arti
Penting Aspek Kognitif
Istilah “cognitive” berasal dari cognition yang
padanannya knowing, berarti mengetahui. Dalam arti luas, ialah perolehan,
penataan dan penggunaan pengetahuan. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah
kognitif menjadi populer, sebagai salah satu wilayah atau ranah psikologis
manusia yang meliputi tingkah laku mental yang berhubungan dengan pemahaman,
pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan,dan
keyakinan.
Menurut Bloom, domain kognitif terbagi atas 6
bagian, yaitu:
1. Pengetahuan:
kemampuan mengenai materi yang sudah dipelajari dari teori yang sederhana
sampai kepada yang sukar.
2. Pemahaman:
kemampuan memahami makna materi. Aspek ini satu tingkat di atas pengetahuan dan
tingkat berfikir yang rendah.
3. Penerapan:
kemampuan menerapkan materi yang sudah dipelajari pada situasi baru dan
menyangkut penggunaan aturan dan prinsip.
4. Analisis:
kemampuan menguraikan materi ke dalam komponen-komponen penyebabnya dan
memahami bagian-bagiannya.
5. Sintesa:
kemampuan memadukan konsep sehingga membentuk suatu pola struktural yang baru.
6. Evaluasi:
kemampuan memberikan pertimbangan terhadap nilai-nilai materi untuk tujuan
tertentu.
Pendayagunaan kapasitas ranah kognitif manusia sudah
mulai berjalan sejak manusia itu mulai mendayagunakan kapasitas motor dan
sensorinya. Hanya, cara dan pendayagunaannya masih belum jelas. Kapasitas
sensori dan jasmani seorang bayi yang baru lahir tidak mungkin diaktifkan tanpa
aktivitas pengendalian sel-sel otak bayi tersebut.
Sebagai bukti, jika seorang bayi lahir dengan cacat
atau berkelainan otak, kecil sekali kemungkinan bayi tersebut dapat
mengotomatisasikan reflek-reflek motor dan daya-daya sensorinya. Otomatisasi
reflek dan daya sensori tidak akan terlepas sama sekali dari aktivitas ranah
kognitif, sebab pusat refleks sendiri terdapat dalam otak, sedangkan otak
adalah pusat ranah kognitif manusia.
Persoalan mengenai usia berapa hari,
berapa minggu, atau berapa bulan aktivitas ranah kognitif mulai mempengaruhi
perkembangan manusia, memang sulit ditentukan. Namun, yang lebih mendekati
kepastian dan dapat dipedomani ialah hasil-hasil riset para ahli psikologi
kognitif yang menyimpulkan bahwa aktivitas ranah kognitf manusia itu pada
prinsipnya sudah berlangsung sejak masa bayi, yakni rentang kehidupan antara
0-2 tahun.
Hasil itu menyimpulkan bahwa semua
bayi manusia sudah berkemampuan
menyimpan informasi-informasi yang berasal dari penglihatan, pendengaran, dan
informasi lain yang diserap melalui indera-indera lainnya. Selain itu, bayi
juga berkemampuan merespons informasi-informasi tersebut secara sistematis.
Hasil riset koginitif tersebut ialah bahwa manusia memulai kehidupannya sebagai
organisme sosial yang betul-betul berkemampuan, sebagai makhluk hidup yang
betul-betul mampu memahami.
d.
Tahapan
Perkembangan Aspek Kognitif
Psikologi kognitif dan psikologi anak, Jean Peaget
mengklasifikasikan perkembangan kognitif anak menjadi empat tahapan, yaitu:
1. Tahap
sensory-motor
Perkembangan
ranah kognitif yang terjadi pada usia 0-2 tahun, intelegensi yang dimiliki anak
tersebut masih berbentuk primitif dalam arti masih didasarkan pada perilaku
terbuka. Anak pada periode ini belajar cara mengikuti dunia kebendaan secara
praktis dan belajar menimbulkan efek tertentu tanpa memahami hal yang sedang ia
perbuat kecuali hanya mencari cara melakukan perbuatan tersebut.
Ketika
seorang bayi berinteraksi dengan lingkungannya, ia akan mengasimilasikan skema
sensori-motor sedemikian rupa dengan mengerahkan kemampuan akomodasi yang ia
miliki hingga mencapai ekuilbrium yang memuaskan kebutuhannya. Proses asimilasi
dan akomodasi dalam mencapai ekuilbrium seperti di atas selaku dilakukan bayi,
baik ketika ia hendak memenuhi dorongan lapar dan dahaganya maupun ketika
bermain dengan benda-benda mainan yang ada di sekitarnya.
Bayi
di bawah usia 18 bulan pada umumnya belum memiliki pengenalan object
permanence. Artinya, benda apapun yang tidak ia lihat, tidak ia sentuh, atau
tidak ia dengar selalu dianggap tidak ada meskipun sesungguhnya benda itu ada
di tempat lain.
Dalam
rentang usia antara 18 hingga 24 bulan, barulah kemampuan mengenal objek
permanence anak tersebut muncul secara bertahap dan sistematis. Sehingga,
benda-benda mainan dan orang-orang yang biasa berada di sekitarnya (seperti ibu
dan pengasuhnya) akan ia cari dengan sungguh-sungguh bila ia memerlukannya.
2. Tahap
Pra-operasional
Perkembangan
ranah kognitif yang terjadi pada usia 2 sampai 7 tahun. Perkembangan ini
bermula pada saat anak telah memiliki penguasaan sempurna mengenai object
permanence. Artinya, anak tersebut sudah memiliki kesadaran akan ‘tetap
eksisnya’ suatu benda yang harus ada atau biasa ada, walaupun benda tersebut
sudah ia tinggalkan, atau sudah tak dilihat dan tak didengar lagi. Jadi,
eksistensi benda tersebut berbeda dengan periode sensori-motor, tidak lagi
bergantung pada pengamatan belaka.
Perolehan
kemampuan berupa kesadaran terhadap eksistensi object oermanence (ketetapan adanya
benda) adalah hasil dari munculnya kapasitas kognitif baru yang disebut
representation atau mental representation (gambaran mental). Secara singkat,
representasi adalah sesuatu yang mewakili atau menjadi simbol atau wujud
sesuatu yang lainnya. Representasi mental merupakan bagian penting dari skema
kognitif yang memungkinkan anak berpikir dan menyimpulkan eksistensi sebuah
benda atau kejadian tertentu walaupun benda atau kejadian itu berada di luar
pandangan, pendengaran, atau jangkauan tangannya.
Representasi
mental juga memungkinkan anak untuk mengembangkan deferred-imitation (peniruan
yang tertunda) yakni kapasitas meniru perilaku orang lain yang sebelumnya
pernah ia lihat untuk merespons lingkungan. Perilaku-perilaku yang ditiru
terutama perilaku-perilaku orang lain (khususnya orang tua dan guru) yang
pernah ia lihat ketika orang itu merespons barang, orang, keadaan, dan kejadian
yang dihadapi pada masa lampau.
Muncul
pula gejala insight-learning, yakni gejala belajar berdasarkan tilikan akal. Anak
mulai mampu melihat situasi problematik, yakni memahami bahwa sebuah keadaan
mengandung masalah, lalu berpikir sesaat. Seusai berpikir, ia memeroleh reaksi
“aha”, yaitu pemahaman atau ilham spontan untuk memecahkan masalah versi
anak-anak.
Dalam
periode ini juga anak mulai mampu menggunakan kata-kata yang benar dan mampu
pula mengekspresikan kaliamt-kalimat pendek tetapi efektif.
Sehubungan dengan
penggunaan skema kognitif anak yang masih terbatas itu ialah bahwa pengamatan
dan pemahaman anak terhadap situasi lingkungan yang ia tanggapi sangat
dipengaruhi oleh watak egocentrism. Maksudnya anak tersebut belum bisa memahami
pandangan-pandangan orang lain yang berbeda dengan sendiri. Gejala egosentrisme
ini disebabkan oleh masih terbatasnya conservation, yakni operasi kognitif yang
berhubungan dengan pemahaman anak terhadap aspek dan dimensi kuantitatif materi
lingkungan yang ia respons.
3. Tahap
konkret-operasional
Perkembangan
ranah kognitif yang terjadi pada usia 7-11 tahun. Anak memperoleh tambahan
kemampuan yang disebut system of operations (satuan langkah berpikir).
Kemampuan satuan langkah berpikir ini berfaedah bagi anak untuk
mengkoordinasikan pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu ke dalam
sistem pemikirannya sendiri.
Satuan
langkah berpikir anak terdiri atas aneka ragam operation (tatanan langkah) yang
masing-masing berfungsi sebagai skema kognitif khusus yang merupakan perbuatan
intern yang tertutup yang dapat dibolak-balik atau ditukar dengan
operasi-operasi lainnya.
Dalam
intelegensi operasional anak sedang berada pada tahap konkret-operasional
terdapat sistem operasi yang meliputi:
1) Conservation
(konservasi/pengekalan) adalah kemampuan anak dalam memahami aspek-aspek
kumulatif materi, seperti volume dan jumlah.
Anak yang mampu mengenali sifat kuantitatif sebuah benda akan tahu bahwa
sifat kuantitatif benda tersebut tidak akan berubah secara sembarangan.
2) Addition
of classes (penambahan golongan benda) yakni kemampuan anak dalam memahami cara
mengkombinasikan beberapa golongan benda yang dianggap berkelas lebih rendah,
seperti mawar, dan melati, dan menghubungkannya dengan golongan benda yang
berkelas tinggi, seperti bunga. Di samping itu, kemampuan ini juga meliputi
kecakapan memilah-milah benda-benda yang tergabung dalam sebuah benda yang berkelas
tinggi menjadi benda-benda yang berkelas rendah, misalnya dari bunga menjadi
mawar, melati, dan seterusnya.
3) Multiplication
of classes (pelipatgandaan golongan benda) yakni kemampuan yang melibatkan
pengetahuan mengenai cara mempertahankan dimensi-dimensi benda (seperti warna
bunga dan tipe bunga) untuk membentuk gabungan golongan benda (seperti mawar
merah, mawar putih, dan seterusnya). Selain itu, kemampuan ini juga melibatkan
cara memisahkan gabungan golongan benda menjadi dimensi-dimensi tersendiri, misalnya:
warna bunga mawar terdiri atas merah, putih, dan kuning.
Piaget menyimpulkan bahwa pemahaman
terhadap aspek kuantitatif materi, pemahaman terhadap penambangan golongan
benda, dan pemahaman terhadap pelipatgandaan golongan benda merupakan ciri khas
perkembangan kognitif anak berusia 7-11 tahun. Perolehan pemahaman tersebut
diiringi dengan banyak berkurangnya egosentris anak. Artinya anak sudah mulai
memiliki kemampuan mengkoordinasikan pandangan-pandangan orang lain dengan
pandangannya sendiri, dan memiliki persepsi positif bahwa pandangannya hanyalah
salah satu dari sekian banyak pandangan orang. Jadi, pada dasarnya perkembangan
kognitif anak tersebut ditinjau dari sudut karakteristiknya sudah sama dengan
kemampuan kognitif orang dewasa. Namun demikian, masih ada
keterbatasan-keterbatasan kapasitas anak dalam mengkoordinasikan pemikirannya.
4. Tahap
Formal-operasional
Perkembangan
ranah kognitif yang terjadi pada usia 11-15 tahun, anak dapat mengatasi masalah
keterbatasan pemikiran konkret-operasional. Dalam perkembangan kognitif tahap
akhir ini seorang remaja telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan baik secara
serentak maupun berurutan dua ragam kemampuan kognitif, yakni:
1) Kapasitas
menggunakan hipotesis (anggapan dasar)
Seorang remaja akan
berpikir mengenai sesuatu khususnya dalam hal pemecahan masalah dengan
menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan yang ia respons.
2) Kapasitas
menggunakan prinsip-prinsip abstrak
Remaja akan mampu mempelajari
materi-materi pelajaran yang abstrak seperti ilmu agama, ilmu matematika dan
sebagainya.
Dua macam kapasitas kognitif yang sangat
berpengaruh terhadap kualitas skema kognitif itu tentu telah dimiliki pula oleh
orang-orang dewasa. Oleh karenanya, seorang remaja pelajar yang telah berhasil menempuh
proses perkembangan formal-operasional secara kognitif dapat dianggap telah
mulai dewasa.
No comments:
Post a Comment