Tuesday, April 15, 2014

Perkembangan Motor dan Kognitif Peserta Didik

a.      Proses Perkembangan Motor
Mula-mula seorang anak yang baru lahir hanya memiliki sedikit sekali kendali terhadap aktivitas alat-alat jasmaninya. Setelah berusia empat bulan, bayi itu sudah mulai mampu duduk dengan bantuan sanggaan dan dapat pula meraih dan menggenggam benda-benda mainannya yang sering hilang dari pandangannya. Kini ia telah memiliki “grasp reflex” yakni gerakan otomatis untu menggenggam. Ini refleks primitif yang diwariskan oleh nenek moyangnya tanpa perlu dipelajari.
Respons otomatis yang juga dimiliki seorang bayi sebagai bekal dan dasar perkembangannya ialah “rootng reflex” yakni gerakan kepala dan mulut yang otomatis setiap pipinya disentuh, kepalanya akan berbalik atau bergerak ke arah datangnya rangsangan, atau mulutnya terbuka dan terus mencari hingga mencapai puting susu atau dot susu yang telah disediakan untuknya.
Bekal psikologis selanjutnya yaitu kapasitas sensori. Kapasitas sensori seorang bayi lazimnya mulai berlaku bersama-sama dengan berlakunya refeleks-refleks motor tadi, bahkan terkadang dengan kualitas yang lebih baik. Hal ini terbukti dengan adanya kemampuan pengaturan napas, penyedotan, dan tanda-tanda respons terhadap stimulus lainnya. Berkat adanya bekal kapasitas sensori, bayi dapat mendengar baik bahkan mampu membedakan antara suara yang keras dan kasar dengan suara lembut ibunya atau suara lembut wanita-wanita lainnya.
Ketika seorang anak memasuki sekolah dasar (6-12 tahun), perkembangan fisiknya mulai tampak benar-benar seimbang dan proporsional. Artinya, organ-organ jasmani tumbuh serasi dan tidak lebih panjang atau lebih besar dari yang semestinya. Misalnya ukuran tangan kanan lebih panjang daripada tangan kiri atau ukuran leher tidak lebih besar daripada ukuran kepala yang disangganggnya.
Gerakan-gerakan tubuh anak juga menjadi lincah dan terarah seiring dengan munculnya keberanian mentalnya. Contoh: jika dalam usia TK tidak berani memanjat pohon dan melompati pagar, pada usia sekolah ia akan menunjukkkan keberanian melakukan itu. Hal ini disebabkan perkembangan kapasitas mental, juga adanya keseimbangan dan keselarasan gerakan organ-organ tubuh anak.
Perkembangan motor siswa akan terus meningkat, beranekaragam, keseimbangan, dan kekuatan ketika ia menduduki bangku SLTP dan SLTA. Namun, peningkatan kualitas bawaan siswa ini justru membawa konsekuensi sendiri, yakni perlunya pengadaan guru yang lebih piawai dan terampil. Kepiawaian guru dalam hal ini bukan hanya menyangkut cara melatih keterampilan para siswa, melainkan juga kepiawaian yang berhubungan dengan penyampaian ilmu tentang alasan dan cara keterampilan tersebut dilakukan.
Belajar keterampilan fisik dianggap telah terjadi dalam diri seseorang apabila ia telah memperoleh kemampuan dan keterampilan yang melibatkan tangan (seperti menggambar) dan tungkai (seperti berlari) secara baik dan benar. Untuk memperoleh hal itu, ia tidak hanya cukup dengan latihan dan praktik, tetapi juga memerlukan kegiatan perceptual learning (belajar berdasarkan pengamatan) atau kegiatan sensory-motor learning (belajar keterampilan indriawi-jasmani).

b.      Perkembangan Motor Skill
Ada empat faktor yang mendorong kelanjutan perkembangan motor skills anak yang memungkinkan campur tangan orangtua dan guru dalam mengarahkannya, yaitu:
1)         Pertumbuhan dan perkembangan sistem syaraf;
2)         Pertumbuhan otot-otot;
3)         Pertumbuhan dan perkembangan fungsi kelenjar endokrin; dan
4)         Perubahan struktur jasmani
Perkembangan motorik adalah perkembangan saraf motorik kasar dan halus anak:
1.      Motorik kasar merupakan gerakan fisik yang membutuhkan keseimbangan dan koordinasi antar anggota tubuh, dengan menggunakan otot-otot besar, sebagian atau seluruh anggota tubuh. Contohnya, berjalan, berlari, berlompat, dan sebagainya. Sedangkan motorik halus adalah kemampuan yang berhubungan dengan keterampilan fisik yang melibatkan otot kecil dan koordinasi mata-tangan. Saraf motorik halus ini dapat dilatih dan dikembangkan melalui kegiatan dan rangsangan yang kontinu secara rutin. Seperti, bermain puzzle, dan sebagainya.
Anak yang terampil dan menguasai gerakan motoriknya, umumnya memiliki fisik yang sehat lantaran banyak bergerak. Keterampilan motorik tersebut tentunya memengaruhi kemandirian dan rasa percaya diri anak dalam mengerjakan sesuatu, karena ia sadar akan kemampuan fisiknya. Pada usia balita ini terjadi kemajuan yang besar dalam keterampilan motorik kasar, seperti berlari, melompat yang melibatkan penggunaan otot besar. Hal ini didukung dengan perkembangan daerah sensoris dan motor pada korteks yang memunginkan koordinasi yang lebih baik antara apa yang diinginkan oleh anak dan apa yang dapat dilakukannya. Tulang dan otot mereka semakin besar sehingga memungkinkan mereka untuk berlari, melompat dan memanjat lebih cepat, lebih jauh dan lebih baik. Seiring dengan pengembangan kedua keterampilan tersebut, anak balita terus menggabungkan berbagai kemampuan yang telah mereka miliki dengan yang baru mereka dapatkan, untuk menghasilkan kemampuan yang lebih kompleks.
Motorik kasar merupakan gerakan fisik yang membutuhkan keseimbangan dan koordinasi antar anggota tubuh, dengan menggunakan otot-otot besar, sebagian atau seluruh anggota tubuh. Contohnya, berjalan, berlari, berlompat, dan sebagainya.
Perkembangan motorik kasar pada bayi memiliki rangkaian tahapan yang berurutan. Artinya setiap tahapan harus dilalui dan dikuasai dulu sebelum memasuki tahapan selanjutnya. Tidak semua bayi akan menguasai suatu keterampilan di usia yang sama, karena perkembangan anak bersifat individual. Tapi perbedaan itu tidak disebabkan bayi yang satu lebih pandai daripada bayi yang lain. Perkembangan keterampilan tidak ada pengaruhnya langsung dengan kecerdasan.

2.      Kemampuan motorik halus adalah kemampuan yang berhubungan dengan keterampilan fisik yang melibatkan otot kecil dan koordinasi mata-tangan. Saraf motorik halus ini dapat dilatih dan dikembangkan melalui kegiatan dan rangsangan yang kontinu secara rutin. Seperti, bermain puzzle, menyusun balok, memasukan benda ke dalam lubang sesuai bentuknya, membuat garis, melipat kertas dan sebagainya.
Kecerdasan motorik halus anak berbeda-beda. Dalam hal kekuatan maupun ketepatannya. perbedaan ini juga dipengaruhi oleh pembawaan anak dan stimulai yang didapatkannya. Lingkungan (orang tua) mempunyai pengaruh yang lebih besar dalam kecerdasan motorik halus anak. Lingkungan dapat meningkatkan ataupun menurunkan taraf kecerdasan anak, terutama pada masa-masa pertama kehidupannya.
Setiap anak mampu mencapai tahap perkembangan motorik halus yang optimal asal mendapatkan stimulasi tepat. Di setiap fase, anak membutuhkan rangsangan untuk mengembangkan kemampuan mental dan motorik halusnya. Semakin banyak yang dilihat dan didengar anak, semakin banyak yang ingin diketahuinya. Jika kurang mendapatkan rangsangan anak akan bosan. Tetapi bukan berarti anda boleh memaksa si kecil. Tekanan, persaingan, penghargaan, hukuman, atau rasa takut dapat mengganggu usaha dilakukan si kecil.

c.       Arti Penting Aspek Kognitif
Istilah “cognitive” berasal dari cognition yang padanannya knowing, berarti mengetahui. Dalam arti luas, ialah perolehan, penataan dan penggunaan pengetahuan. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif menjadi populer, sebagai salah satu wilayah atau ranah psikologis manusia yang meliputi tingkah laku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan,dan keyakinan.
Menurut Bloom, domain kognitif terbagi atas 6 bagian, yaitu:
1.      Pengetahuan: kemampuan mengenai materi yang sudah dipelajari dari teori yang sederhana sampai kepada yang sukar.
2.      Pemahaman: kemampuan memahami makna materi. Aspek ini satu tingkat di atas pengetahuan dan tingkat berfikir yang rendah.
3.      Penerapan: kemampuan menerapkan materi yang sudah dipelajari pada situasi baru dan menyangkut penggunaan aturan dan prinsip.
4.      Analisis: kemampuan menguraikan materi ke dalam komponen-komponen penyebabnya dan memahami bagian-bagiannya.
5.      Sintesa: kemampuan memadukan konsep sehingga membentuk suatu pola struktural yang baru.
6.      Evaluasi: kemampuan memberikan pertimbangan terhadap nilai-nilai materi untuk tujuan tertentu.
Pendayagunaan kapasitas ranah kognitif manusia sudah mulai berjalan sejak manusia itu mulai mendayagunakan kapasitas motor dan sensorinya. Hanya, cara dan pendayagunaannya masih belum jelas. Kapasitas sensori dan jasmani seorang bayi yang baru lahir tidak mungkin diaktifkan tanpa aktivitas pengendalian sel-sel otak bayi tersebut.
Sebagai bukti, jika seorang bayi lahir dengan cacat atau berkelainan otak, kecil sekali kemungkinan bayi tersebut dapat mengotomatisasikan reflek-reflek motor dan daya-daya sensorinya. Otomatisasi reflek dan daya sensori tidak akan terlepas sama sekali dari aktivitas ranah kognitif, sebab pusat refleks sendiri terdapat dalam otak, sedangkan otak adalah pusat ranah kognitif manusia.
            Persoalan mengenai usia berapa hari, berapa minggu, atau berapa bulan aktivitas ranah kognitif mulai mempengaruhi perkembangan manusia, memang sulit ditentukan. Namun, yang lebih mendekati kepastian dan dapat dipedomani ialah hasil-hasil riset para ahli psikologi kognitif yang menyimpulkan bahwa aktivitas ranah kognitf manusia itu pada prinsipnya sudah berlangsung sejak masa bayi, yakni rentang kehidupan antara 0-2 tahun.
            Hasil itu menyimpulkan bahwa semua bayi manusia  sudah berkemampuan menyimpan informasi-informasi yang berasal dari penglihatan, pendengaran, dan informasi lain yang diserap melalui indera-indera lainnya. Selain itu, bayi juga berkemampuan merespons informasi-informasi tersebut secara sistematis. Hasil riset koginitif tersebut ialah bahwa manusia memulai kehidupannya sebagai organisme sosial yang betul-betul berkemampuan, sebagai makhluk hidup yang betul-betul mampu memahami.

d.      Tahapan Perkembangan Aspek Kognitif
Psikologi kognitif dan psikologi anak, Jean Peaget mengklasifikasikan perkembangan kognitif anak menjadi empat tahapan, yaitu:
1.      Tahap sensory-motor
Perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 0-2 tahun, intelegensi yang dimiliki anak tersebut masih berbentuk primitif dalam arti masih didasarkan pada perilaku terbuka. Anak pada periode ini belajar cara mengikuti dunia kebendaan secara praktis dan belajar menimbulkan efek tertentu tanpa memahami hal yang sedang ia perbuat kecuali hanya mencari cara melakukan perbuatan tersebut.
Ketika seorang bayi berinteraksi dengan lingkungannya, ia akan mengasimilasikan skema sensori-motor sedemikian rupa dengan mengerahkan kemampuan akomodasi yang ia miliki hingga mencapai ekuilbrium yang memuaskan kebutuhannya. Proses asimilasi dan akomodasi dalam mencapai ekuilbrium seperti di atas selaku dilakukan bayi, baik ketika ia hendak memenuhi dorongan lapar dan dahaganya maupun ketika bermain dengan benda-benda mainan yang ada di sekitarnya.
Bayi di bawah usia 18 bulan pada umumnya belum memiliki pengenalan object permanence. Artinya, benda apapun yang tidak ia lihat, tidak ia sentuh, atau tidak ia dengar selalu dianggap tidak ada meskipun sesungguhnya benda itu ada di tempat lain.
Dalam rentang usia antara 18 hingga 24 bulan, barulah kemampuan mengenal objek permanence anak tersebut muncul secara bertahap dan sistematis. Sehingga, benda-benda mainan dan orang-orang yang biasa berada di sekitarnya (seperti ibu dan pengasuhnya) akan ia cari dengan sungguh-sungguh bila ia memerlukannya.
2.      Tahap Pra-operasional
Perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 2 sampai 7 tahun. Perkembangan ini bermula pada saat anak telah memiliki penguasaan sempurna mengenai object permanence. Artinya, anak tersebut sudah memiliki kesadaran akan ‘tetap eksisnya’ suatu benda yang harus ada atau biasa ada, walaupun benda tersebut sudah ia tinggalkan, atau sudah tak dilihat dan tak didengar lagi. Jadi, eksistensi benda tersebut berbeda dengan periode sensori-motor, tidak lagi bergantung pada pengamatan belaka.
Perolehan kemampuan berupa kesadaran terhadap eksistensi object oermanence (ketetapan adanya benda) adalah hasil dari munculnya kapasitas kognitif baru yang disebut representation atau mental representation (gambaran mental). Secara singkat, representasi adalah sesuatu yang mewakili atau menjadi simbol atau wujud sesuatu yang lainnya. Representasi mental merupakan bagian penting dari skema kognitif yang memungkinkan anak berpikir dan menyimpulkan eksistensi sebuah benda atau kejadian tertentu walaupun benda atau kejadian itu berada di luar pandangan, pendengaran, atau jangkauan tangannya.
Representasi mental juga memungkinkan anak untuk mengembangkan deferred-imitation (peniruan yang tertunda) yakni kapasitas meniru perilaku orang lain yang sebelumnya pernah ia lihat untuk merespons lingkungan. Perilaku-perilaku yang ditiru terutama perilaku-perilaku orang lain (khususnya orang tua dan guru) yang pernah ia lihat ketika orang itu merespons barang, orang, keadaan, dan kejadian yang dihadapi pada masa lampau.
Muncul pula gejala insight-learning, yakni gejala belajar berdasarkan tilikan akal. Anak mulai mampu melihat situasi problematik, yakni memahami bahwa sebuah keadaan mengandung masalah, lalu berpikir sesaat. Seusai berpikir, ia memeroleh reaksi “aha”, yaitu pemahaman atau ilham spontan untuk memecahkan masalah versi anak-anak.
Dalam periode ini juga anak mulai mampu menggunakan kata-kata yang benar dan mampu pula mengekspresikan kaliamt-kalimat pendek tetapi efektif.
Sehubungan dengan penggunaan skema kognitif anak yang masih terbatas itu ialah bahwa pengamatan dan pemahaman anak terhadap situasi lingkungan yang ia tanggapi sangat dipengaruhi oleh watak egocentrism. Maksudnya anak tersebut belum bisa memahami pandangan-pandangan orang lain yang berbeda dengan sendiri. Gejala egosentrisme ini disebabkan oleh masih terbatasnya conservation, yakni operasi kognitif yang berhubungan dengan pemahaman anak terhadap aspek dan dimensi kuantitatif materi lingkungan yang ia respons.
3.      Tahap konkret-operasional
Perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 7-11 tahun. Anak memperoleh tambahan kemampuan yang disebut system of operations (satuan langkah berpikir). Kemampuan satuan langkah berpikir ini berfaedah bagi anak untuk mengkoordinasikan pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu ke dalam sistem pemikirannya sendiri.
Satuan langkah berpikir anak terdiri atas aneka ragam operation (tatanan langkah) yang masing-masing berfungsi sebagai skema kognitif khusus yang merupakan perbuatan intern yang tertutup yang dapat dibolak-balik atau ditukar dengan operasi-operasi lainnya.
Dalam intelegensi operasional anak sedang berada pada tahap konkret-operasional terdapat sistem operasi yang meliputi:
1)      Conservation (konservasi/pengekalan) adalah kemampuan anak dalam memahami aspek-aspek kumulatif materi, seperti volume dan jumlah.  Anak yang mampu mengenali sifat kuantitatif sebuah benda akan tahu bahwa sifat kuantitatif benda tersebut tidak akan berubah secara sembarangan.
2)      Addition of classes (penambahan golongan benda) yakni kemampuan anak dalam memahami cara mengkombinasikan beberapa golongan benda yang dianggap berkelas lebih rendah, seperti mawar, dan melati, dan menghubungkannya dengan golongan benda yang berkelas tinggi, seperti bunga. Di samping itu, kemampuan ini juga meliputi kecakapan memilah-milah benda-benda yang tergabung dalam sebuah benda yang berkelas tinggi menjadi benda-benda yang berkelas rendah, misalnya dari bunga menjadi mawar, melati, dan seterusnya.
3)      Multiplication of classes (pelipatgandaan golongan benda) yakni kemampuan yang melibatkan pengetahuan mengenai cara mempertahankan dimensi-dimensi benda (seperti warna bunga dan tipe bunga) untuk membentuk gabungan golongan benda (seperti mawar merah, mawar putih, dan seterusnya). Selain itu, kemampuan ini juga melibatkan cara memisahkan gabungan golongan benda menjadi dimensi-dimensi tersendiri, misalnya: warna bunga mawar terdiri atas merah, putih, dan kuning.
Piaget menyimpulkan bahwa pemahaman terhadap aspek kuantitatif materi, pemahaman terhadap penambangan golongan benda, dan pemahaman terhadap pelipatgandaan golongan benda merupakan ciri khas perkembangan kognitif anak berusia 7-11 tahun. Perolehan pemahaman tersebut diiringi dengan banyak berkurangnya egosentris anak. Artinya anak sudah mulai memiliki kemampuan mengkoordinasikan pandangan-pandangan orang lain dengan pandangannya sendiri, dan memiliki persepsi positif bahwa pandangannya hanyalah salah satu dari sekian banyak pandangan orang. Jadi, pada dasarnya perkembangan kognitif anak tersebut ditinjau dari sudut karakteristiknya sudah sama dengan kemampuan kognitif orang dewasa. Namun demikian, masih ada keterbatasan-keterbatasan kapasitas anak dalam mengkoordinasikan pemikirannya.
4.      Tahap Formal-operasional
Perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 11-15 tahun, anak dapat mengatasi masalah keterbatasan pemikiran konkret-operasional. Dalam perkembangan kognitif tahap akhir ini seorang remaja telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan baik secara serentak maupun berurutan dua ragam kemampuan kognitif, yakni:
1)      Kapasitas menggunakan hipotesis (anggapan dasar)
Seorang remaja akan berpikir mengenai sesuatu khususnya dalam hal pemecahan masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan yang ia respons.
2)      Kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak
Remaja akan mampu mempelajari materi-materi pelajaran yang abstrak seperti ilmu agama, ilmu matematika dan sebagainya.

Dua macam kapasitas kognitif yang sangat berpengaruh terhadap kualitas skema kognitif itu tentu telah dimiliki pula oleh orang-orang dewasa. Oleh karenanya, seorang remaja pelajar yang telah berhasil menempuh proses perkembangan formal-operasional secara kognitif dapat dianggap telah mulai dewasa.

No comments:

Post a Comment