Tuesday, April 15, 2014

MAKALAH HADITS SHOHIH

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Hadits merupakan sumber hukum umat islam kedua setelah Al-Qur’an. Apabila dalam Al-Qur’an tidak ditemui suatu hukum maka umat islam mencarinya dalam hadits-hadits Rasulullah saw. Hadits tidak hanya merupakan perkataan nabi, tapi ia juga meliputi perbuatan dan ketetapan Rasulullah SAW.
Hadits atau al-hadits menurut bahasa adalah al-jadid, yang artinya sesuatu yang baru, lawan dari al-Qadim ( lama ). Artinya berarti yang menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat, seperti  (orang yang baru memeluk islam). Hadis ini juga sering disebut dengan al-Khabar, yang artinya berita, yaitu sesuatu yang dipercaya atau dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, sama maknanya dengan hadis.
Hadits dilihat dari segi kualitas sanadnya dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dha’if. Pengertian hadits shahih adalah sebuah hadits yang sanadnya bersambung dan diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah, serta tidak ada cacat atau kekurangan dalam hadits tersebut. Atau dalam istilah lain tidak termasuk hadits yang syadz dan mu’allal.
Dalam makalah ini akan sedikit dijelaskan tentang pengertian hadits shahih, syarat-syarat bisa dimasukkan menjadi hadis shahih, macam-macamnya serta contohnya.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana arti secara bahasa maupun istilah dari hadits shahih?
2.      Bagaimana ciri-ciri hadits shahih?
3.      Bagaimana macam-macam hadits shahih?
4.      Bagaimana contoh-contoh hadits shahih?

C.    TUJUAN MASALAH
1.      Mengetahui arti hadits shahih menurut bahasa maupun istilah
2.      Mengetahui ciri-ciri hadits shahih
3.      Mengetahui macam-macam hadits shahih
4.      Mengetahui contoh-contoh hadits shahih















BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.    DEFINISI HADITS SHAHIH
Kata “shohih” juga telah menjadi kosakata bahasa Indonesia dengan arti “sah; benar, sempurna, sehat, pasti” (WJS. Poerwadarminta, 1985:849). Shohih menurut lughah bahasa lawan dari kata Saqim (Ibnu Taymiyah, 1989:31). Yang dimaksud dengan hadits shohih menurut Muhadditsin adalah hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatannya (hafalannya), sanadnya bersambung, tidak berilat, dan tidak janggal. (Fatchur Rahman,1995:95)
            Menurut Munzier Suparta (2002:127), gambaran mengenal pengertian hadits shohih agak jelas setelah Imam Syafi’i memberikan ketentuan bahwa riwayat suatu hadits dapat dijadikan hujjah, apabila:
1.      Diriwayatkan oleh para perawi yang dapat dipercaya pengalaman agamanya; dikenal sebagai orang yang jujur memahami dengan baik hadits yang diriwayatkan mengetahui perubahan arti hadits bila terjadi perubahan lafazhnya; mampu meriwayatkan hadits secara lafazh; terpelihara hafalannya, bila meriwayatkan hadits secara lafazh, bunyi hadits yang diriwayatkan sama dengan bunyi hadits yang diriwayatkan oleh orang lain; dan terlepas dari tadlis (penyembunyian cacat).
2.      Rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi SAW., atau dapat juga tidak sampai pada Nabi.
Imam Syafi’i dipandang sebagai ulama yang mula-mula menetapkan kaidah keshohihan hadits. Hal yang sangat logis, sebab bila dikaji pernyataan Imam Syafi’i tersebut bukan hanya berkaitan dengan sanad, akan tetapi berkaitan juga dengan matannya.
Jika berbicara tentang keshohihan hadits, maka dua tokoh yang popular sebagai “syekh” atau dipandang sebagai guru besar dalam masalah hadits adalah Bukhari dan Muslim. Keduanya dipandang sebagai tokoh ahli hadits dan hadits-hadits yang diriwayatkannya diakui sebagai hadits yang shohih. Sekalipun demikian, ternyata ketika itu, dibuat definisi hadits shohih secara tegas. Namun setelah para ulama mengadakan penelitian mengenal cara-vara ditempuh oleh keduanya untuk menetapkan suatu hadits yang bisa dijadikan hujjah, diperoleh suatu gambaran mengenal kriteria hadits shohih menurut keduanya. Kriteria-kriteria yang dimaksud adalah:
1.      Rangkaian perawinya dalam sanad itu harus bersambung mulai dari perawi pertama sampai perawi terakhir;
2.      Para perawinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal tsiqqat, dalam arti ‘adil dan dhabit;
3.      Haditsnya terhindar dari ‘illat (cacat) dan syadz (janggal); dan
4.      Para perawinya yang terdekat dalam sanad harus sezaman.
Hanya saja antara keduanya terjadi perbedaan pendapat mengenal persambungan sanad. Menurut Bukhari, sanad hadits dikatakan bersambung apabila antara perawi yang terdekat itu pernah bertemu, sekalipun hanya satu kali. Jika tidak cukup hanya sezaman (al-mu’asharah). Sedangkan menurut Muslim, apabila antara perawi yang terdekat hidup sezaman sudah dikategorikan bersambung. Disamping itu, persyaratan yang telah disepakati sebagaimana di atas, ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa Bukhari juga menetapkan syarat “terjadinya periwayatan harus dengan cara Al-Sama’”. Hal ini menunjukkan bahwa persyaratan hadits shohih yang ditetapkan oleh Imam Bukhari lebih ketat daripada persyaratan yang ditetapkan oleh Muslim (Munzier Suparta, 2002:128).
Definisi yang lebih ringkas dinyatakan oleh Al-Suyuthi. Menurutnya, hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dabit, tidak syaz dan tidak ber’illat.
Selanjutnya Ajjaj Al-Khathib memberi pengertian hadits shohih lebih rinci, yang merupakan hasil kajian terhadap beberapa pengertian yang diajukan para ulama ahli hadits yang hidup pada masa sebelumnya. Menurutnya, hadits shohih adalah hadits yang bersambung sanadnya dengan riwayat yang dapat dipercayai dari yang bisa dipercaya dari awal sanad hingga akhir sanad dengan tanpa ada cela dan cacatnya.
Jika dianalisa, terdapat beberapa persamaan dalam mendefinisikan hadits shohih, yaitu: sanadnya syad (janggal) dan tidak ada illat (cacat) baik dalan sanad maupun matannya. Berikut ini akan dijelaskan secara rinci dalam syarat-syarat hadits shohih.
Para ulama telah memberikan definisi hadits shohih sebagai hadits yang telah diakui dan disepakati kebenarannya oleh para ahli hadits. Namun berikut ini ada suatu definisi yang bebas dari cacat dan kritik, sebagai berikut:
Hadits Shohih adalah hadits yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan shabith dari wari lain yang juga adil dan dhabith sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak itu tidak janggal serta tidak mengandung cacat (illat).

B.     SYARAT-SYARAT HADITS SHOHIH
a.      Mengenai matan
1.      Semua rawi dalam sanad haruslah bersifat adil, yakni:
-          Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi perbuatan maksiat
-          Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun
-          Tidak melakukan perkara-perkara Mubah yang dapat menggugurkan iman kepada kadar dan mengakibatkan penyesalan
-          Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan dasar Syara’
Keadilan rawi merupakan faktor penentu bagi diterimanya suatu riwayat. Karena Menurut al-Razi keadilan adalah jiwa yang mendorong untuk selalu bertindak taqwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang menodai muru’ah, seperti makan sambil berdiri di jalan, buang air (kencing) di tempat yang bukan disediakan untuknya dan bergurau yang berlebih-lebihan.
2.      Semua rawi dalam sanad haruslah bersifat dhabit. Rawi yang dhabit adalah rawi yang kuat hapalan, sehingga dapat menyimpan hadits-hadits dengan baik dan benar. Juga dipandang rawi yang cermat mencatat, membukukan hadits-hadits dan mampu mengungkapkan kembali dengan cakap, sehingga tidak bercampur aduk dengan catatan-catatan lain.
Dhabit ada dua macam, yaitu:
1)      Dhabit al-shadri, yakni seorang yang mempunyai daya hafal dan ingatan yang kuat, serta daya faham yang tinggi, sejak dari menerima sampai pada menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan dimana saja dikehendakinya.
2)      Dhabit al-kitab, yaitu seorang yang dhabit atau crmat memelihara catatan atau buku yang ia terima
Unsur-unsur dhabit adalah:
1)      Tidak pelupa
2)      Hapal terhadap apa yang didiktekan kepada muridnya bila ia memberikan hadits dengan hapalan, dan terjaga kitabnya dari kelemahan bila meriwayatkan hadits dengan kitabnya.
3)      Menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan mengetahui makna yang dapat mengalihkan maksud, bila ia meriwayatkan hadits menurut maknanya saja. Rawi yang adil dan dhabit disebut tsiqat.
3.      Sanadnya bersambung. Rawi tingkatan sahabat Nabi (tingkatan pertama) benar-benar berjumpa dan menyampaikan hadits pada wari tingkatan kedua. Demikian pula rawi tingkatan kedua dengan rawi ke tingkatan ketiga dan seterusnya.
4.      Tidak rancu (syad)
Kerancuan (syad) adalah suatu kondisi dimana seorang rawi berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya. Keadaan semacam ini dipandang rancu karena ia berbeda dengan rawi lain lebih kuat posisinya baik dari segi kekuatan daya hapalannya atau jumlah mereka lebih banyak sehingga harus diunggulkan. Dan karena kerancuannya maka timbullah penilaian negatif terhadap periwayatan hadits yang bersangkutan.
5.      Tidak ada cacat
Yang dimaksud dengan tidak ada cacat disini adalah terbebas dari cacat-cacat keshahihan pada sanad seperti pemalsuan rawi.
b.      Mengenai matan
1.      Pengertian yang terkandung dalam matan tidak boleh bertentangan dengan ayat al-quran atau hadits mutawatir walaupun keadaan rawi sudah memenuhi syarat. Bila matan hadits itu dinilai bertentangan dengan ayat al-Quran atau hadits mutawatir, maka hadits itu tidak dipandang hadits shahih.
2.      Pengertian matan tidak bertentangan dengan pendapat yang disepakati (ijmak) ulama, atau tidak bertentangan dengan keterangan ilmiah yang kebenarannya dapat dipastikan secara sepakat oleh para ilmuwan.
3.      Tidak ada kejanggalan lainnya, jika dibandingkan dengan matan hadits yang lebih tinggi tingkatan dan kedudukannya.
Persyaratan di atas dijadikan sebagai ukuran keshahihan hadits dapat dipahami karena faktor keadilan dan kedhabitan rawi dapat menjamin keaslian hadits yang diriwayatkan seperti keadaan ketika hadits itu diterima dari orang yang mengucapkannya.
Bersambungnya sanad dengan para perawinya yang kondisinya demikian dapat menghindarkan tercemarnya hadits yang bersangkutan dalam perjalanannya dari Rasulullah SAW sampai rawi terakhir. Tidak adanya kejanggalan dalam matan atau sanad itu merupakan bukti keaslian dan ketetapan hadits yang bersangkutan serta menunjukkan bahwa padanya tidak terdapat hal-hal yang janggal dan cacat.
Tidak adanya cacat menunjukkan keselamatan hadits yang bersangkutan dari hal-hal yang samar yang membuatnya cacat setelah dihadapkan pada syarat-syarat keshahihan lainnya yang berfungsi untuk meneliti faktor-faktor lahiriah.

C.    JENIS-JENIS HADITS SHOHIH
Para ulama hadits membagi hadits shohih ini dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a.       Shahih li dzatihi, yaitu hadits yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat hadits maqbul secara sempurna, yaitu syarat-syarat yang lima sebagaimana tersebut di atas.
Contoh:
“Bukhari berkata, “Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apabila mereka bertiga, janganlah dua orang berbisik tanpa ikut serta orang ketiga.” (HR Bukhari)

Hadits di atas diterima oleh Bukhari dari Abdullah bin Yusuf, Abdullah bin Yusuf menerimanya dari Malik, Malik menerimanya dari Nafi’, Nafi’ menerimanya dari Abdullah, dan Abdullah itulah sahabat Nabi yang mendengan Nabi SAW bersabda, seperti tercantum di atas.

Semua nama-nama tersebut, mulai dari Bukhari sampai dengan Abdullah (sahabat) adalah rawi-rawi yang adil, dhabit, dan benar-benar bersambung, tidak ada cacat, baik pada sanad maupun pada matan. Dengan demikian hadits di atas termasuk hadits shahih lizatih


b.      Shohih Li Ghairihi, yaitu hadits yang tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi dari sifat sebuah hadits maqbul (a’la sifat al-qubul). Hal itu bisa terjadi karena ada beberapa hal, misalnya saja perawinya sudah diketahui adil tapi dari sisi kedhabitannya ia dinilai kurang. Hadits ini menjadi shohih karena ada hadits lain yang sama atau sepadan (redaksinya) diriwayatkan melalui jalur lain yang setingkat atau malah lebih shohih.
Contoh hadits hasan li dzatihi yang naik derajatnya menjadi hadits shohih li ghairihi adalah salah satu hadits riwayat Bukhari, yaitu:
“jika tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak pada setiap kali hendak melaksanakan shalat”. (HR. Bukhari)

Menurut Ibnu Al-Shalah, bahwa Muhammad bin ‘Amradalah terkenal sebagai orang yang jujur, akan tetapi kedhabitannya kurang sempurna, sehingga hadits riwayatnya hanya sampai pada tingkat hasan. Hadits tersebut pada mulanya adalah hadits hasan li dzatihi. Karena ada riwayat lain yang diriwayatkan melalui jalur Al-A’raj pada contoh di atas, maka hadits hasan tersebut naik derajatnya menjadi hadits shohih li ghairihi.

Kesimpulannya, perbedaan antara kedua bagian hadits ini terletak pada segi kedhabitan perawinya. Pada shohih li dzatihi ingatan perawinya sempurna, sedangkan pada hadits shohih li ghairihi, ingatan perawinya kurang sempurna (qalil al-dhabth). Oleh karena itu, ada yang mendefinisikan hadits shohih li ghairihi ini dengan :
“Hadits yang tidak memenuhi sifat-sifat hadits maqbul secara sempurna, yaitu hadits yang asalnya bukan hadits shohih, akan tetapi naik derajatnya menjadi hadits shohih lantaran ada faktor pendukung yang dapat menutupi kekurangan yang ada pada dirinya”.




D.    CONTOH HADITS SHOHIH
Di antara hadits-hadits shahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim338). Mereka berkata :
Meriwayatkan kepada kami Qutaibah bin Said ia berkata: “Meriwayatkan kepada kami Jarir dari ‘Umarah bin Al-Qa’qa’ dari Abu Zur’ah dari Abu Hurairah, ia berkata: ’Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah saw., lalu berkata: ‘Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuanku yang baik?’ Rasulullah menjawab: ‘Ibumu.’ Orang itu bertanya : ‘Kemudian siapa?’ Rasulullah menjawab: ‘Ibumu.’ Orang itu bertanya lagi: ‘Kemudian siapa?’ Rasulullah menjawab: ‘Ibumu.’ Orang itu kembali bertanya: ‘Kemudian siapa?’ Rasulullah menjawab: ‘Kemudian bapakmu.’”

Sanad hadits di atas bersambung melalui pendengaran orang yang adil dan dhabith dari orang yang semisalnya. Al-Bukhari dan Muslim adalah dua orang imam yang agung dalam bidang ini. Dan guru mereka, Qutaibah bin Said, adalah orang yang tsiqat dan tsabt serta berkedudukan tinggi.
Jarir adalah putra Abdul Hamid, seorang rawi yang tsiqat dan shohih kitabnya. Ada yang mengatakan bahwa pada akhir hayatnya ia meragukan apabila ia telah meriwayatkan berdasarkan hafalannya. Namun hal itu tidak menjadi masalah karena Qutaibah bin Said adalah seorang muridnya yang senior dan telah lebih dahulu mendengar hadits-haditsnya.
‘Umarah bin Al-Qa’qa’ juga seorang yang tsiqat. Demikian pula Abu Zur’ah al-Tabi’i. Ia adalah putra ‘Amr bin Jarir bin Abdullah al-Bajali.
Para rawi dalam sanad di atas seluruhnya orang tsiqat dan dipakai berhujah oleh para imam. Untaian sanad di atas telah dikenal di kalangan muhadditsin, dan padanya tidak terdapat hal-hal yang janggal. Demikian pula matan hadits tersebut sesuai dengan dalil-dalil lain tentang masalah yang sama. Jadi hadits tresebut termasuk hadits shohih dengan sendirinya (shohih lidzatihi).


BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Hadits Shohih adalah hadits yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan shabith dari wari lain yang juga adil dan dhabith sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak itu tidak janggal serta tidak mengandung cacat (illat).
Syarat agar hadits Shahih dapat diterima yaitu rawinya bersifat ‘adil, rawinya sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ada ‘illat, dan tidak janggal (Syad).
Bentuk-bentuk hadits shahih itu ada dua yaitu hadits Shahih li dzatihi dan hadits Shohih Li Ghairihi.



















DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Maulana, dkk.2000.Ulumul Hadits.Bandung: CV Pustaka Setika
Herdy, Asep.2010.Ilmu Hadits.Bandung: CV Insan Mandiri

Soetari, Endang.2008.Ilmu Hadist Kajian Riwayah dan Dirayah.Bandung: CV Mimbar Pustaka

MAKALAH LANDASAN KURIKULUM

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Kurikulum sebagai rancangan sekaligus kendaraan pendidikan mempunyai peran yang sangat signifikan dan berkedudukan sentral dalam seluruh kgiatan pendidikan, menentukan proses pelaksanaan dan hasil pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalam dunia pendidikan dan dalam perkembangan kehidupan manusia, penyusunan kurikulum tidak dapat dikerjakan secara sembarangan saja.
Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan oleh hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam dan sesuai dengan tantangan zaman. Karena kurikulum ibarat sebuah rumah yang harus mempunyai pondasi agar dapat berdiri tegak, tidak rubuh dan dapat memberikan kenyamanan bagi yang tinggal di dalamnya, pondasi tersebut ialah landasan-landasan untuk kuriulum sebagai rumahnya, agar bisa memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi peserta didik untuk menuntut ilmu dan menjadikannya produk yang berguna bagi dirinya sendiri, agama, masyarakat dan negaranya. Bila landasan rumahnya lemah, maka yang ambruk adalah rumahnya sedangkan jika landasan kurikulum yang lemah dalam pendidikan maka yang ambruk adalah manusianya.
Oleh karena itu kurikulum dalam pendidikan perlu mempunyai perhatian yang besar baik bagi pemerintah sebagai penanggung jawab umum atau pihak sekolah yang turun langsung mengimplementasikan kurikulum tersebut ke peserta didik, dengan berlandaskan pada filosofis, psikologis, sosiologis dan organisatoris serta bersifat dinamis agar tujuan pendidikan bisa tercapai sesuai dengan yang diharapkan.





B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana landasan-landasan pengembangan kurikulum?
2.      Bagaimana landasan filosofis jika ditinjau dari filsafat dan tujuan pendidikan serta ditinjau dari filsafat sebagai proses berpikir?
3.      Bagaimana landasan psikologis dalam pengembangan kurikulum jika ditinjau dari psikologi perkembangan anak dan ditinjau dari psikologi belajar?
4.      Bagaimana landasan sosiologis jika dikaitkan dengan masyarakat, kebudayaan, dan perkembangan ilmu pengetahuan?

C.    TUJUAN MASALAH
1.      Mengetahui landasan-landasan pengembangan kurikulum.
2.      Mengetahui landasan filosofis jika ditinjau dari filsafat dan tujuan pendidikan serta ditinjau dari filsafat sebagai proses berpikir.
3.      Mengetahui landasan psikologis dalam pengembangan kurikulum jika ditinjau dari psikologi perkembangan anak dan ditinjau dari psikologi belajar.
4.      Mengetahui landasan sosiologis jika dikaitkan dengan masyarakat, kebudayaan, dan perkembangan ilmu pengetahuan.












BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebuah bangunan gedung yang tinggi tentu membutuhkan landasan atau fondasi yang kuat agar dapat berdiri tegak, koko, dan tahan lama. Apabila bangunan tersebut tidak memiliki fondasi yang kokoh maka cepat ambruk atau hancur. Hal ini juga berlaku dalam pengembangan kurikulum. Apabila landasan atau fondasi pendidikan/kurikulum lemah dan tidak kokoh maka yang dipertaruhkan adalah manusianya (peserta didik). Landasan pengembangan kurikulum pada hakikatnya merupakan faktor-faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan pada waktu mengembangkan suatu kurikulum lembaga pendidikan, baik di lingkungan sekolah maupun luar sekolah.
Menurut salah seorang ahli kurikulum yang bernama Robert S. Zais (1976), kurikulum suatu lembaga pendidikan didasarkan kepada lima landasan (foundation) yang digambarkan dalam suatu model yang disebut “An Eclectic Model of the curriculum and its foundation” yaitu suatu kurikulum yang komponen-komponennya terdiri atas tujuan (aims, goals, objectives), isi/bahan (content), aktivitas belajar (learning activities) dan evaluasi (evaluation), agar memiliki tingkat relevansi dan fleksibilitas yang tinggi perlu ditopang oleh lima landasan. Landasan utama dari kurikulum tersebut yaitu landasan filosofis (philoshophical assumption), sedangkan landasan lainnya yaitu hakikat ilmu pengetahuan (epistemology), masyarakat dan kebudayaan (society and culture), individu peserta didik (the individual), dan teori-teori belajar (learning theory).
Senada dengan pendapat Robert S. Zais, Ralph W. Tyler (dalam Ornstein & Hunkins,1988) mengemukakan pandangan yang erat kaitannya dengan beberapa aspek yang melandasi suatu kurikulum (dalam hal ini disebut school purposes) melalui visualisasi sebagai berikut
Dengan memperhatikan kedua pandangan tersebut, secara umum terdapat tiga aspek pokok yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu landasan filosofis, landasan psikologis, dan landasan sosiologis.
Untuk lebih memperjelas pemahaman mengenai landasan kurikulum, berikut ini diuraikan ketiga aspek pokok yang menjadi landasan dalam mengembangkan suatu kurikulum.
A.    Landasan Filosofis
Filsafat berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu dari kata “philos” dan “shopia”. Philos, artinya cinta yang mendalam, dan shopia adalah kearifan atau kebijaksanaan. Dengan demikian, filsafat secara harfiah dapat diartikan sebagai cinta yang mendalam akan kearifan. Secara populer filsafat sering diartikan sebagai pandangan hidup suatu masyarakat atau pendirian hidup bagi individu.
Filsafat sebagai landasan pengembangan kurikulum menjawab pertanyaan-pertanyaan pokok seperti: Hendak dibawa ke mana siswa yang dididik itu? Masyarakat bagaimana yang harus diciptakan malalui ikhtiar pendidikan? Apa hakikat pengetahuan yang harus dipelajari dan dikajo siswa? Norma-norma atau sistem nilai yang bagaimana yang harus diwariskan kepada anak didik sebagai generasi penerus? Bagaimana sebaiknya proses pendidikan berlangsung?
Sebagai suatu landasan fundamental, filsafat memegang peranan penting dalam proses pengembangan kurikulum. Ada empat fungsi filsafat dalam proses pengembangan kurikulum.
1.      Filsafat dan Tujuan Pendidikan
Dalam arti luas, pendidikan dapat diartikan sebagai proses pengembangan semua aspek kepribadian manusia, baik aspek pengetahuan, nilai dan sikap, maupun keterampilan. Hummel (1997), mengemukakan ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan tujuan pendidikan:
1)      Autonomy, artinya memberi kesadaran, pengetahuan dan kemampuan yang prima kepada setiap individu dan kelompok untuk dapat mandiri dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik.
2)      Equity, artinya pendidikan harus dapat memberi kesempatan kepada seluruh warga masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kebudayaan dan ekonomi.
3)      Survival, artinya pendidikan bukan saja harus dapat menjamin terjadinya pewarisan dan memperkaya kebudayaan dari generasi ke generasi akan tetapi juga harus memberikan pemahaman akan saling ketergantungan antar manusia.
Filsafat sebagai sistem nilai harus menjadi dasar dalam menentukan tujuan pendidikan, artinya pandangan hidup atau sistem nilai yang dianggap baik oleh suatu masyarakat akan tercermin dalam tujuan pendidikan yang harus dicapai. Manusia macam apa yang kita harapkan sebagai akhir proses pendidikan? Hendak dibawa kemana anak yang kita didik itu? apa yang harus dikuasai oleh mereka? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu erat kaitannya dengan filsafat sebagai sistem nilai.
Kurikulum pada hakikatnya berfungsi untuk mempersiapkan aggota masyarakat yang dapat mempertahankan, mengembangkan dan dapat hidup dalam system nilai masyaraktnya sendiri, oleh sebab itu laam proses pengembangan kurikulum harus mencerminkan system nilai masyarakat.
Nilai-nilai atau norma yang diakui sebagai pandangan hidup suatu bangsa, seperti Pancasila bagi bangsa Indonesia, bukan hanya harus menjiwai isi kuri kulum yang berlaku, akan tetapi harus mewarnai filsafat dan tujuan lembaga sekolah serta merembes ke dalam praktik pendidikan oleh guru di dalam kelas.
Menurut Bloom (1965), tujuan pendidikan dapat digolongkan ke dalam tiga domain (bidang), yaitu domain kognitif, afektif dan psikomotor. Domain kognitif berhubungan dengan pengembangan intelektual atau kecerdasan. Bidang afektif berhubungan dengan pengembangan sikap dan bidang psikomotor berhubungan dengan keterampilan.

2.      Filsafat sebagai Proses Berpikir
Berpikir filosofis adalah berpikir yang memiliki ciri-ciri tertentu. Sidi Gazalba seperti yang dikutip Uyoh Sadulloh (2004) mengemukakan ciri-ciri berpikir filosofis sebagai berpikir yang radikal, sistematis dan universal. Berpikir yang radikal yaitu berpikir sampai ke akarnya, tidak tanggung-tanggung sampai pada konsekuensi yang terakhir. Berpikir sistematis adalah berpikir logis yang bergerak selangkah demi selangkah dengan penuh kesadaran dengan urutan yang bertanggung jawab dan saling berhubungan. Berpikir universal, artinya tidak berpikir secara khusus, yang terbatas kepada bagian-bagian tertentu. Orang yang berfilsafat adalah orang yang berpikir secara mendalam tentang masalah secara menyeluruh sebagai upaya mencari dan menemukan kebenaran.
Menurut Nasution (1989), ada empat aliran utama dalam filsafat yaitu idealisme, realisme, pragmatisme dan eksistensialime.
1)      Aliran idealisme memandang bahwa kebenaran itu datangnya dari Yang Maha Kuasa. Manusia tidak dapat melihatnya secara lengkap apalagi menciptakannya. Manusia hanya mampu menemukan kebenaran yang sebetulnya sudah ada. Pandangan aliran idealisme tentang hakikat kenyataan itu memiliki pengaruh tentang pengetahuan serta nilai-nilai atau norma serta terhadap aspek-aspek lain.
2)      Aliran realisme memandang bahwa manusia pada dasarnya dapat menemukan dan mengenal realitas sebagai hukum-hukum universal, hanya saja dalam menemukannya itu dibatasi oleh kelambanan sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itu, kemampuan dapat diperoleh secara ilmiah melalui fakta dan kenyataan yang dapat diindra.
3)      Aliran pragmatisme berpendapat bahwa kenyataan itu pada hakikatnya berada pada hubungan sosial, antara manusia yang satu dengan manusia lainnya. Berkat hubungan sosial itu, manusia dapat memperbaiki mutu kehidupannya.
4)      Aliran eksistensialisme mengakui bahwa sebagai individu setiap manusia memiliki kelemahan-kelemahan, namun demikian setiap individu itu dapat memperbaiki dirinya sendiri sesuai dengan norma-norma dan keyakinan yang ditentukannya sendiri.

B.     Landasan Psikologis
Pendidikan berkaitan dengan perilaku manusia. Dalam proses pendidikan terjadi interaksi antara siswa lingkungannya, baik lingkungan yang bersifat fisik maupun lingkungan sosial. Melalui pendidikan diharapkan adanya perubahan perilaku siswa menuju-kedewasaan, baik fisik, mental/intelektual, moral maupun sosial. Namun demikian, perlu juga diingatkan bahwa tidak semua perubahan perilaku siswa mutlak sebagai akibat intervensi dari program pendidikan. Ada juga perubahan perilaku yang dipengaruhi oleh kematangan siswa itu sendiri atau pengaruh dari lingkungan di luar program pendidikan. Kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan/program pendidikan sudah pasti berkenaan dengan proses perubahan perilaku siswa tersebut di atas. Melalui kurikulum diharapkan dapat terbentuk tingkah laku baru berupa kemampuan-kemampuan aktual dan potensial dari para siswa serta kemampuan-kemampuan baru yang berlaku dalam waktu yang relatif lama.
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia, sedangkan kurikulum adalah upaya menentukan program pendidikan untuk mengubah perilaku manusia. Oleh sebab itu, pengembangan kurikulum harus dilandasi oleh psikologis sebagai acuan dalam menentukan apa dan bagaimana perilaku itu harus dikembangkan. Siswa adalah individu yang sedang berada dalam proses perkembangan, seperti perkembangan fisik/jasmani, intelektual, sosial, emosional, moral. Tugas utama para guru adalah membantu mengoptimalkan perkembangan siswa. Sebenarnya tanpa pendidikan pun anak tetap akan berkembang, tetapi dengan proses pendidikan diharapkan perkembangan anak tersebut akan lebih optimal. Apa yang dididikkan dan bagaimana cara mendidiknya harus disesuaikan dengan tingkat-tingkat perkembangan anak. Karakteristik perilaku pada berbagai tingkatan perkembangan merupakan bahan kajian dari psikologi perkembangan. Perkembangan-perkembangan yang dialami oleh anak pada umumnya diperoleh melalui proses belajar. Guru selalu mencari upaya untuk dapat membelajarkan para siswanya. Cara belajar dan mengajar yang bagaimana dapat memberikan hasil optimal dan bagaimana proses pelaksanaanya membutuhkan kajian/studi yang sistematik dan mendalam. Studi tersebut merupakan bidang kajian dari psikologi belajar.
Dari uraian di tersebut tampak adanya dua cabang psikologi yang sangat penting diperhatikan di dalam pengembangan kurikulum, yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Psikologi belajar berkenaan atau memberikan sumbangan bagi kurikulum dalam hal bagaimana kurikulum itu diberikan kepada siswa dan bagaimana pula siswa harus mempelajarinya. Hal ini berarti berkenaan dengan strategi kurikulum. Psikologi perkembangan diperlukan terutama dalam menentukan isi kurikulum yang diberikan kepada siswa agar tingkat keluasan dan kedalaman materi/bahan ajar sesuai dengan taraf perkembangan siswa.
Oleh karena kedua hal tersebut sangat penting peranannya dalam rangka mengembangkan suatu kurikulum maka berikut ini diuraikan secara lebih lagi.
1.      Perkembangan Siswa dan Kurikulum
Anak sejak dilahirkan sudah memperlihatkan keunikan-keunikan, seperti pernyataan dirinya dalam bentuk tangisan atau gerakan-gerakan tertentu. Hal ini memberikan gambaran bahwa sebenarnya sejak lahir anak telah memiliki potensi untuk berkembang. Bagi aliran yang sangat percaya dengan kondisi tersebut sering menganggap anak sebagai orang dewasa dalam bentuk kecil. J.J Rousseau, seorang ahli pendidikan bangsa Perancis, termasuk yang fanatik berpandangan seperti itu. Dewasa dalam bentuk kecil mengandung makna bahwa anak itu belum memiliki sepenuhnya potensi yang diperlukan bagi penyesuaian diri terhadap lingkungannya. Ia masih memerlukan bantuan untuk berkembang ke arah kedewasaan yang sempurna. Rousseau memberi tekanan kepada kebebasan berkembang secara mulus menjadi orang dewasa yang diharapkan. Istilah yang dipakainya adalah kembali ke alam, sesuatu itu adalah baik dari tangan Tuhan, akan tetapi menjadi rusak karena tangan manusia. Pendidikan itu harus menghormati anak sebagai makhluk yang memiliki potensi alamiah. Rousseau percaya bahwa anak harus belajar dari pengalaman langsung. Jadi dalam hal ini intervensi atau campur tangan pendidikan oleh guru dan orang tua tidak terlalu mendominasi.
Pendapat lain mengatakan bahwa perkembangan anak itu adalah hasil dari pengaruh lingkungan. Anak dianggap sebagai kertas putih, dimana orang-orang di sekelilingnya dapat bebas menulisi kertas tersebut. Pandangan ini bertentangan dengan pandangan Rousseau, dimana justru aspek-aspek di luar anak/lingkungannya yang lebih banyak mempengaruhi perkembangan anak menjadi individu yang dewasa. Pandangan ini sering disebut teori tabularasa dengan tokohnya, yaitu John Locke.
Selain kedua pandangan tersebut, terdapat pandangan yang menyebutkan bahwa perkembangan anak itu merupakan hasil perpaduan antara pembawaan dan lingkungan. Aliran ini mengakui akan kodrat manusia yang memiliki potensi sejak lahir, namun potensi ini akan berkembang menjadi baik dan sempurna berkat pengaruh lingkungan. Aliran ini disebut aliran konvergensi dengan tokohnya yaitu William Stern. Pandangan yang terakhir ini dikembangkan lagi oleh Havighurst dengan teorinya tentang tugas-tugas perkembangan (developmental tasks). Tugas-tugas perkembangan  yang dimaksud adalah tugas yang secara nyata harus dipenuhi oleh setiap anak/individu sesuai dengan taraf/tingkat perkembangan yang dituntut oleh lingkungannya. Apabila tugas-tugas itu tidak terpenuhi maka pada taraf perkembangan berikutnya anak/individu tersebut akan mengalami masalah. Melalui tugas-tugas ini, anak akan berkembang dengan baik dan beroperasi secara kumulatif dari yang sederhana menuju ke arah yang lebih kompleks. Namun demikian, objek penelitian yang dilakukan oleh Havighurst ini adalah anak-anak Amerika, jadi masih perlu kebenarannya diteliti dan dikaji dengan cermat untuk anak-anak Indonesia yang memiliki kondisi lingkungan yang berbeda.
Untuk memahami perkembangan siswa, salah satu teori yang banyak digunakan adalah seperti yang dikemukakan oleh Piaget yang terkenal dengan teori perkembangan kognitif. Menurut Piaget, kemampuan kognitif merupakan suatu yang fundamental yang mengarahkan dan membimbing perilaku anak. Menurut Piaget, perkembangan intelektual (kognitif) setiap individu berlangsung dalam tahapan-tahapan tertentu. Tahapan-tahapan tertentu itu menurut Piaget terdiri dari 4 fase, yaitu:
1)      Sensorimotor (0-2 tahun), pada fase ini kemampuan kognitif anak sangat terbatas. Piaget mengistilahkannya dengan kemampuan yang bersifat primitif, artinya masih didasarkan kepada perilaku yang terbuka. Intelegensi sensorimotor juga dinamakan intelegensi praktis. Dikatakan demikian, oleh karena pada masa ini anak hanya belajar bagaimana mengikuti dunia kebendaan secara praktis dan belajar bagaimana menimbulkan efek tertentu tanpa memahami apa yang sedang ia lakukan kecuali hanya mencari cara melakukan perbuatan itu. dari proses interaksi, anak memperoleh pengalaman fisik dan pengalaman mental. Piaget percaya, bahwa asal mula tumbuhnya struktur mental adalah aksi atau tindakan. Artinya, apabila seorang anak melihat, merasakan, atau mengerakkan suatu benda, maka ia akan memaksa otaknya untuk membangun program-program mental untuk menguasai dan menanganinya.
2)      Praoperasional (2-7 tahun), menurut Piaget, fase ini ditandai dengan beberapa ciri. Pertama, adanya kesadaran dalam diri anak tentang suatu objek. Kedua, pada fase ini kemampuan anak dalam berbahasa mulai berkembang. Melalui pengalamannya anak dapat mengenal objek dan anak akan mampu mengekspresikan sesuatu dengan kalimat pendek namun efektif. Ketiga, fase praoperasional ini juga dinamakan fase intuisi, sebab pada masa ini anak mulai mengetahui perbedaan antara objek-objek sebagai suatu bagian dari individu atau kelasnya. Keempat, pandangan terhadap dunia, pada fase ini bersifat animistic, artinya bahwa segala sesuatu yang bergerak di dunia ini adalah hidup. Keliama, pada fse ini pengamatan dan pemahaman sangat dipengaruhi oleh sifatnya yang egocentric. Ia akan beranggapan bahwa cara pandanag orang lain terhadap objek sana seperti dirinya.
3)      Operasional Konkret (7-11 tahun), pada masa ini pikiran anak terbatas pada objek-objek yang ia jumpai dari pengalaman-pengalaman langsung. Pada masa ini, selain kemampuan-kemampuan yang telah dimiliki pada masa sebelumnya, anak memperoleh tambahan kemampuan yang disebut dengan system of operations. Kemampuan kognitif yang dimiliki anak pada fase ini meluputi conservation, addition of classes dan multiplication of classes. Dengan munculnya kemampuan-kemampuan di atas, maka kemampuan operasi kognitif ini juga meliputi kemampuan melakukan berbagai macam operasional secara matematika, seperti menambah, mengurang, mengalikan dan membagi.
4)      Operasional Formal (12-14 tahun ke atas), Piaget menanamkan fase ini sebagai fase formal operational, karena pada masa ini pola berpikir anak sudah sistematik dan meliputi proses-proses yang kompleks. Aktivitas proses berpikir pada fase ini mulai menyerupai cara berpikir orang dewasa, karena kemampuannya yang sudah berkembang pada hal-hal yang bersifat abstrak. Anak sudah mampu memprediksi berbagai macam kemungkinan. Baik tujuan maupun isi kurikulum harus mempertimbangkan taraf perkembangan anak. Tanpa pertimbangan psikologi anak, maka dapat dipastikan kurikulum yang disusun tidak akan efektif.

Pandangan tentang anak sebagai makhluk yang unik sangat berpengaruh terhadap pengembangan kurikulum pendidikan. Setiap anak merupakan pribadi tersendiri, memiliki perbedaan disamping persamaanya, implikasi dari hal tersebut terhadap pengembangan kurikulum, yaitu sebagai berikut.
a)      Setiap anak diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan  bakat, minat, dan kebutuhannya.
b)      Di samping menyediakan pelajaran yang sifatnya umum (program inti) yang wajib dipelajari setiap anak, sekolah menyediakan pula pelajaran-pelajaran pilihan yang sesuai dengan minat anak.
c)      Kurikulum di samping menyediakan bahan ajar yang bersifat kejuruan/keterampilan juga menyediakan bahan ajar yang bersifat akademik. Anak-anak yang berbakat di bidang akdemik diberi kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan berikutnya
d)     Kurikulum memuat tujuan-tujuan yang mengandung pengetahuan, nilai/sikap, dan keterampilan yang menggambarkan keseluruhan pribadi yang utuh lahir dan batin.
Implikasi lain dari pengetahuan tentang anak, individu dalam proses pelaksanaan kurikulum (pembelajaran) dapat diuraikan sebagai berikut.
a)      Tujuan pembelajarn yang dirumuskan secara operasional selalu berpusat kepada perubahan tingkah laku siswa.
b)      Bahan/materi pelajaran yang diberikan sesuai dengan kebutuhan, minat dan perhatian siswa dan bahan tersebut mudah dijangkau oleh siswa.
c)      Starategi pembelajaran atau cara menyampaikan bahan ajar disesuaikan dengan taraf perkembangan siswa.
d)     Media yang dipakai senantiasa dapat menarik perhatian dan minat siswa.
e)      Sistem evaluasi berpadu dalam satu kesatuan yang menyeluruh dan berkesinambungan dari satu tahap ke tahap yang lainnya dan dijalankan secara terus-menerus.

2.      Psikologi Belajar dan Kurikulum
Psikologi belajar berkaitan dengan bagaimana individu/siswa belajar. Belajar dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan perilaku yang terjadi melalui pengalaman. Segala perubahan perilaku baik pada aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), maupun psikomotor (keterampilan) yang terjadi karena proses pengalaman, dapat dikatagorikan sebagai perilaku hasil belajar. Perubahan-perubahan perilaku yang terjadi secara insting atau terjadi karena kematangan atau perilaku yang terjadi secara kebetulan, tidak termasuk hasil belajar. Mengetahui dan memahami psikologi/teori belajar merupakan bekal bagi anda sebagai guru sekolah dasar dalam tugas pokok membelajarkan siswa.
Psikologi atau teori belajar yang berkembang pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga rumpun, yaitu teori disiplin mental atau teori daya (faculty theory), teori behaviorisme, dan teori organismik atau cognitive gestalt field. Menurut teori daya, dari kelahirannya anak/individu telah memiliki potensi-potensi atau daya-daya tertentu (faculties) yang masing-masing memiliki fungsi tertentu, seperti daya mengingat, daya berfikir, daya mencurahkan pendapat, daya mengamati, daya memecahkan masalah, dan daya-daya lainnya. Daya-daya ini dapat dilatih agar dapat berfungsi dengan baik. Daya berfikir siswa sering dilatih dengan pelajaran berhitung/ matematika, daya mengingat dilatih dengan menghafalkan sesuatu. Daya-daya yang telah terlatih dapat dipindahkan ke dalam pembentukan daya-daya yang lain. Pemindahan (transfer) ini mutlak dilakukan melalui latihan (drill). Oleh karena itu, pengertian mengajar menurut teori ini adalah melatih siswa dalam daya-daya tersebut, cara mempelajarinya pada umumnya melalui hafalan dan latihan.
Rumpun teori belajar yang kedua yaitu teori hebaviorisme. Rumpun teori ini mencakup tiga teori, yaitu teori koneksionisme atau teori asosioasi, teori kondisioning, dan teori penguatan (reinforcement/operant conditioning). Rumpun teori behaviorisme ini berangkat dari asumsi bahwa individu tidak membawa potensi sejak lahir. Perkembangan individu ditentulan oleh lingkungan (keluarga, sekolah, dan masyarakat). Rumpun teori ini tidak mengakui sesuatu yang sifatnya mental. Perkembangan anak menyangkut hal-hal nyata yang dapat dilihat dan diamati. Teori koneksionisme atau teori asosiasi adalah teori yang paling awal dari teori behaviorisme. Menurut teori ini kehidupan tunduk kepada hukum stimulus-respons atau aksi-reaksi. Belajar pada dasarnya merupakan hubungan antara stimulus dan respons (S-R). Belajar merupakan upaya untuk membentuk hubungan stimulus-respons sebanyak-banyaknya. Tokoh utama dari teori ini, yaitu Edward L. Thorndike yang memunculkan tiga hukum belajar (law of learning) yang sangat terkenal, yaitu law of readiness, law of exercies, dan low of effect. Menurut hukum kesiapan (readiness), hubungan antara stimulus dengan respons akan terbentuk atau mudah terbentuk apabila telah ada kesiapan pada sistem syaraf individu. Hukum latihan atau pengulangan (exercise), menyatakan bahwa hubungan antara stimulus dan respons akan terbentuk apabila seiring dilatih atau diulang-ulang. Hukum akibat (effect), menyatakan bahwa hubungan stimulus dan respons akan terjadi apabila ada akibat yang menyenangkan.
Teori belajar yang ketiga yaitu teori organismik dan gestalt. Teori ini mengacu kepada pengertian bahwa keseluruhan lebih bermakna daripada bagian-bagian, tetapi keseluruhan bukan kumpulan dari bagian-bagian. Makhluk dianggap sebagai makhluk organisme yang melakukan hubungan timbal balik dengan lingkungan secara keseluruhan. Hubungan ini dijalin oleh stimulus dan respons. Menurut teori ini, stimulus yang hadir itu diseleksi menurut tujuannya, kemudian individu melakukan interaksi dengannya dan seterusnya sehingga terjadi perbuatan belajar. Bertentangan dengan teori koneksionisme/asosiasi, menurut teori gestalt, peran guru yaitu sebagai pembimbing bukan penyampaian pengetahuan, dan siswa berperan sebagai pengolah bahan pelajaran. Belajar berlangsung berdasarkan pengalaman yaitu kegiatan interkasi antara individu dengan lingkungannya. Belajar menurut teori ini bukanlah menghafal, akan tetapi memecahkan masalah, dan metode belajar yang dipakai adalah metode ilmiah dengan cara anak dihadapkan pada berbagai permasalahan, merumuskan hipotesis atau praduga, mengumpulkan data yang diperlukan untuk memecahkan masalah, menguji hipotesis yang telah dirumuskan, dan pada akhirnya para siswa dibimbing untuk menarik kesimpulan-kesimpulan. Teori ini banyak mempengaruhi praktik pelaksanaan kurikulum di sekolah karena teori ini memiliki prinsip-prinsip berikut:
a)      Belajar itu berdasarkan keseluruhan
Dalam belajar siswa mempelajari bahan pelajaran secara keseluruhan. Bahan-bahan dirinci ke dalam bagian-bagian untuk dipelajari secara keseluruhan, dan dihubungkan satu sama lain secara terpadu. Siswa mereaksi bahan yang dipelajari oleh pikirannya, perasaannya,mentalnya, spritualnya dan oleh seluruh aspek tingkah lakunya. Pelajaran yang diberikan kepadanya bersumber pada suatu masalah atau pokok bahasan yang luas yang harus dipecahkan oleh siswa. Siswalah yang mengolah bahan pelajaran itu. Siswa mereaksi seluruh pelajaran dengan keseluruhan jiwanya.
b)      Belajar adalah pembentukan kepribadian
Siswa dipandang sebagai makhluk keseluruhan. Siswa dibimbing untuk memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara berimbang. Ia dibina untuk menjadi manusia seutuhnya, yaitu manusia yang memiliki keseimbangan lahir dan batin antara pengetahuan dengan sikapnya dan antara sikap dengan keterampilannya. Seluruh kepribadiannya diharapkan utuh melalui proses pengajaran yang terpadu.
c)      Belajar berkat pemahaman
Menurut teori ini belajar itu adalah proses pemahaman. Pemahaman mengandung makna penguasaan pengetahuan yang diselaraskan dengan sikap dan keterampilan. Dapat pula diartikan bahwa pemahaman adalah kemudahan dalam menemukan suatu pemecahan masalah. Keterampilan menghubung-hubungkan bagian-bagian pengetahuan untuk diperoleh suatu kesimpulan merupakan salah satu wujud pemahaman.
d)     Belajar berdasarkan pengalaman
Sebagaimana dikemukakan bahwa belajar adalah pengalaman. Proses belajar adalah bekerja, mereaksi, memahami, dan mengalami. Dalam belajar itu siswa aktif, guru hanya membantu secara minimal sesuai dengan apa yang dibutuhkan siswa. Siswa mengolah bahan pelajaran melalui diskusi, tanya jawab, kerja kelompok, demonstrasi, survei lapangan, karyawisata, atau belajar di perpustakaan.
e)      Belajar adalah suatu proses perkembangan
Dalam hubungan ini ada tiga hal yang perlu diketahui guru, yaitu: perkembangan siswa merupakan hasil dari pembawaan, perkembangan siswa merupakan hasil lingkungan, dan perkembangan siswa merupakan hasil keduanya. Perpaduan kedua pandangan itu melahirkan teori tugas perkembangan yang diciptakan oleh Havighurst.
f)       Belajar adalah proses berkesinambungan
Belajar itu adalah proses sepanjang masa. Manusia tidak pernah berhenti belajar walaupun sudah tua. Manusia selalu melakukan proses belajar. Hal itu dilakukan karena faktor kebutuhan. Belajar adalah proses kegiatan interaksi antara dirinya dengan lingkungannya yang dilakukan dari lahir sampai meninggal. Oleh karena itu, belajar merupakan proses berkesinambungan. Untuk mempertahankan prinsip ini maka kurikulum kita menganjurkan untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran yang tidak terbatas pada kurikulum yang tersedia, tetapi juga kurikulum yang sifatnya ekstra untuk memenuhi kebutuhan para siswa.
g)      Belajar akan lebih berhasil jika dihubungkan dengan minat, perhatian, dan kebutuhan siswa
Keberhasilan belajar tidak seluruhnya ditentukan oleh kemampuan siswa akan tetapi juga oleh minatnya, perhatiannya, dan kebutuhannya. Dalam kaitan ini maka faktor motivasi sangat menentukan.


C.    Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis mengarahkan kajian mengenai kurikulum yang dikaitkan dengan masyarakat, kebudayaan, dan perkembangan ilmu pengetahuan.  Ketiga hal tersebut pada hakikatnya merupakan landasan yang sangat mempengaruhi penetapan isi kurikulum.
1.      Kurikulum dan Masyarakat
Masyarakat adalah suatu kelompok individu yang terorganisasi yang berfikir tentang dirinya sebagai suatu yang berbeda dengan kelompok atau masyarakat lainnya. Sebagai akibat dari perkembangan yang terjadi saat ini, terutama sebagai pengaruh dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kebutuhan hidup masyarakat semakin luas dan semakin meningkat sehingga tuntutan hidup pun semakin tinggi. Perkembangan masyarakat tersebut menuntut tersedianya proses pendidikan yang relevan. Pendidikan harus mengantisipasi tuntutan kehidupan dalam suatu masyarakat sehingga dapat mempersiapkan anak didik untuk hidup wajar sesuai dengan kondisi masyarakat dimana mereka hidup. Untuk terciptanya proses pendidikan yang sesuai dengan perkembangan masyarakat maka diperlukan rancangan pendidikan berupa kurikulum yang landasan pengembangannya memperhatikan perkembangan masyarakat.
Kurikulum sebagai program atau rancangan pendidikan harus dapat menjawab tantangan dan tuntutan masyarakat, bukan hanya dari segi isi programnya tetapi juga dari segi pendekatan dan strategi pelaksanannya. Oleh karena itu, guru sebagai pelaksana kurikulum dituntut lebih peka mengantisipasi perkembangan masyarakat, agar apa yang diberikan kepada siswa relevan dan berguna bagi kehidupannya di masyarakat. Penerapan teori, prinsip, dan hukum yang terdapat dalam semua ilmu pengetahuan yang ada dalam kurikulum, harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat sehingga hasil belajar yang dicapai oleh siswa akan lebih bermakna dalam hidupnya. Pengembangan kurikulum yang hanya didasarkan pada kemampuan dasar saja tidak akan dapat memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Pengembangan kurikulum harus ditekankan pada pengembangan individu yang mencakup keterkaitannya dengan lingkungan masyarakat setempat. Uraian tersebut, menunjukkan betapa pentingnya faktor kebutuhan dan tuntun masyarakat dalam pengembangan kurikulum.

2.      Kurikulum dan Kebudayaan
Kebudayaan pada dasarnya merupakan pola kelakuan secara umum terdapat dalam satu masyarakat. Seluruh nilai yang telah disepakati masyarakat dapat pula disebut kebudayaan. Kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa manusia yang diwujudkan dalam tiga hal sebagai berikut:
a.       Ide, konsep, gagasan, nilai, norma, dan peraturan. Wujud kebudayaan ini bersifat abstrak dan adanya dalam alam pikiran manusia dan warga masyarakat di tempat kebudayaan itu berada.
b.      Kegiatan, yaitu tindakan berpola dari manusia dalam bermasyarakat. Tindakan ini disebut sistem sosial. Dalam sistem sosial, aktivitas manusia sifatnya konkret, bisa dilihat dan diobservasi. Tindakan berpola manusia tentu didasarkan oleh wujud kebudayaan yang pertama. Artinya sistem sosial dalam bentuk aktivitas manusia merupakan refleksi dari ide, konsep, gagasan, nilai, dan norma yang telah dimilikinya.
c.       Benda hasil karya manusia. Wujud kebudayaan yang ketiga ini ialah seluruh fisik perbuatan atau hasil karya manusia di masyrakat. Oleh karena itu, wujud kebudayaan ini disebut kebudayaan fisik. Sudah barang tentu wujud kebudayaan yang ketiga ini adalah produk dan wujud kebudayaan yang pertama dan kedua.
Setiap kelompok masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri. Kebudayaan inilah yang membedakan masyarakat satu dengan yang lainnya. Bangsa Indonesia yang sangat majemuk, terdiri atas lebih dari 300 suku bangsa, sampai saat ini masih memelihara kebudayaan daerahnya, seperti tradisi dan bahasa daerah. Keadaan ini menciptakan kebudayaan Indonesia yang sangat beragam. Pendidikan pada hakikatnya merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Dalam konteks inilah siswa diperkenalkan dengan kebudayaan manusia, dibina, dan dikembangkan sesuai dengan nilai budayanya, serta dipupuk kemampuan dirinya menjadi manusia yang berbudaya. Faktor kebudayaan merupakan bagian yang terpenting dalam pengembangan kurikulum dengan pertimbangan bahwa individu itu lahir belum berbudaya, baik dalam hal kebiasaan, cita-cita, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan sebagainya. Kesemuanya itu dapat diperoleh individu melalui interaksi dengan lingkungan budaya, keluarga, masyarakat sekitar, dan tentu saja dengan sekolah. Sekolah mempunyai tugas khusus untuk memberikan pengalaman kepada para siswa dengan salah satu alat yang disebut kurikulum. Kurikulum pada dasarnya merupakan refleksi dari cara orang berfikir, berasa, bercita-cita, atau kebiasaan-kebiasaan. Oleh karena itu, dalam mengembangkan suatu kurikulum guru perlu memahami kebudayaan.
3.      Kurikulum dan Perkembangan Iptek
Ilmu pengetahuan dan teknologi pada hakikatnya adalah hasil kebudayaan manusia. Ilmu dan teknologi tidak bisa dipisahkan. Teknologi merupakan aplikasi dari ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu lainnya untuk memecahkan masalah-masalah praktis. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang teramat pesat seiring dengan lajunya perkembangan masyarakat. Pengaruh dari perkembangan Iptek ini cukup luas, meliputi segala bidang kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, keagamaan, keamanan, dan pendidikan. Perkembangan teknologi industri mempunyai hubungan  timbal balik dengan pendidikan. Industri dengan teknologi maju memproduksi berbagai macam alat dan bahan yang secara langsung atau tidak langsung dibutuhkan dalam pendidikan. Kegiatan pendidikan membutuhkan dukungan dari penggunaan alat-alat hasil industri seperti televisi, radio, video, dan alat-alat lainnya. Penggunaan alat-alat hasil industri maju dalam pendidikan tentu saja menuntut pengetahuan dan kecakapan tertentu dari guru-guru.
Mengingat pendidikan merupakan upaya menyiapkan siswa menghadapi masa depan dan perubahan masyarakat yang semakin pesat terutama perubahan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi maka pengembangan kurikulum haruslah berlandaskan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, secara langsung akan menjadi isi/materi pendidikan. Sedangkan secara tidak langsung, perkembangan Iptek memberikan tugas kepada pendidikan untuk membekali masyarakat dengan kemampuan pemecahan masalah yang dihadapi sebagai pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga dimanfaatkan untuk memecahkan masalah pendidikan.





















BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Kurikulum merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan kehidupan manusia, maka penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat dan didasarkan pada hasil pemikiran dan penelitian mendalam. Jika kurikulum disusun tidak berdasarkan landasan-landasan pengembangan kurikulum seperti landasan filosofis, landasan psikologis, dan landasan sosiologis, maka akan berakibat buruk kepada sistem pendidikan terutama berakibat buruk kepada proses pengembangan kurikulum, karena hakikatnya kurikulum dibuat agar peserta didik dapat terjun atau berpartisipasi langsung dalam dunia masyarakat dan kehidupan nyata. Landasan filosofis berkaitan dengan filsafat yang merupakan unsur yang cukup penting dalam mengembangkan kurikulum, landasan psikologis berkaitan dengan psikolog perkembangan anak dan psikolog belajar. Landasan Sosiologis berkaitan dengan budaya-budaya dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat sebagai acuan dalam mengembangkan kurikulum.

B.      SARAN
Sebaiknya peserta didik diberi informasi mengenai landasan-landasan dalam pengembangan kurikulum. Landasan-landasan kurikulum ini sangat penting dalam pengembangan kurikulum karena tanpa landasan-landasan tersebut isi kurikulum akan kurang relevan jika dikaitkan dengan kehidupan nyata. Peserta didik jangan diberikan bentuk kurikulum saja namun harus mengetahui isi kurikulum, landasan-landasan pengembangan kurikulum serta komponen-komponen kurikulum yang sesungguhnya akan sangat berguna bagi peserta didik dalam kehidupan bermasyarakat atau kehidupannya yang nyata kelak.

DAFTAR PUSTAKA
Hernawan, Asep Herry dkk.2011.Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran.Jakarta:Universitas Terbuka
Sanjaya, Wina.2010.Kurikulum dan Pembelajaran.Jakarta: Kencana