BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Kurikulum sebagai rancangan sekaligus kendaraan
pendidikan mempunyai peran yang sangat signifikan dan berkedudukan sentral
dalam seluruh kgiatan pendidikan, menentukan proses pelaksanaan dan hasil
pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalam dunia pendidikan dan dalam
perkembangan kehidupan manusia, penyusunan kurikulum tidak dapat dikerjakan secara
sembarangan saja.
Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan
yang kuat, yang didasarkan oleh hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang
mendalam dan sesuai dengan tantangan zaman. Karena kurikulum ibarat sebuah
rumah yang harus mempunyai pondasi agar dapat berdiri tegak, tidak rubuh dan
dapat memberikan kenyamanan bagi yang tinggal di dalamnya, pondasi tersebut ialah
landasan-landasan untuk kuriulum sebagai rumahnya, agar bisa memberikan
kenyamanan dan kemudahan bagi peserta didik untuk menuntut ilmu dan
menjadikannya produk yang berguna bagi dirinya sendiri, agama, masyarakat dan
negaranya. Bila landasan rumahnya lemah, maka yang ambruk adalah rumahnya
sedangkan jika landasan kurikulum yang lemah dalam pendidikan maka yang ambruk
adalah manusianya.
Oleh karena itu kurikulum dalam pendidikan perlu
mempunyai perhatian yang besar baik bagi pemerintah sebagai penanggung jawab
umum atau pihak sekolah yang turun langsung mengimplementasikan kurikulum
tersebut ke peserta didik, dengan berlandaskan pada filosofis, psikologis,
sosiologis dan organisatoris serta bersifat dinamis agar tujuan pendidikan bisa
tercapai sesuai dengan yang diharapkan.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana
landasan-landasan pengembangan kurikulum?
2. Bagaimana
landasan filosofis jika ditinjau dari filsafat dan tujuan pendidikan serta
ditinjau dari filsafat sebagai proses berpikir?
3. Bagaimana
landasan psikologis dalam pengembangan kurikulum jika ditinjau dari psikologi
perkembangan anak dan ditinjau dari psikologi belajar?
4. Bagaimana
landasan sosiologis jika dikaitkan dengan masyarakat, kebudayaan, dan
perkembangan ilmu pengetahuan?
C.
TUJUAN
MASALAH
1. Mengetahui
landasan-landasan pengembangan kurikulum.
2. Mengetahui
landasan filosofis jika ditinjau dari filsafat dan tujuan pendidikan serta
ditinjau dari filsafat sebagai proses berpikir.
3. Mengetahui
landasan psikologis dalam pengembangan kurikulum jika ditinjau dari psikologi
perkembangan anak dan ditinjau dari psikologi belajar.
4. Mengetahui
landasan sosiologis jika dikaitkan dengan masyarakat, kebudayaan, dan
perkembangan ilmu pengetahuan.
BAB II
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Sebuah
bangunan gedung yang tinggi tentu membutuhkan landasan atau fondasi yang kuat
agar dapat berdiri tegak, koko, dan tahan lama. Apabila bangunan tersebut tidak
memiliki fondasi yang kokoh maka cepat ambruk atau hancur. Hal ini juga berlaku
dalam pengembangan kurikulum. Apabila landasan atau fondasi
pendidikan/kurikulum lemah dan tidak kokoh maka yang dipertaruhkan adalah
manusianya (peserta didik). Landasan pengembangan kurikulum pada hakikatnya
merupakan faktor-faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan pada waktu
mengembangkan suatu kurikulum lembaga pendidikan, baik di lingkungan sekolah
maupun luar sekolah.
Menurut
salah seorang ahli kurikulum yang bernama Robert S. Zais (1976), kurikulum
suatu lembaga pendidikan didasarkan kepada lima landasan (foundation) yang
digambarkan dalam suatu model yang disebut “An Eclectic Model of the curriculum
and its foundation” yaitu suatu kurikulum yang komponen-komponennya terdiri
atas tujuan (aims, goals, objectives), isi/bahan (content), aktivitas belajar
(learning activities) dan evaluasi (evaluation), agar memiliki tingkat
relevansi dan fleksibilitas yang tinggi perlu ditopang oleh lima landasan.
Landasan utama dari kurikulum tersebut yaitu landasan filosofis (philoshophical
assumption), sedangkan landasan lainnya yaitu hakikat ilmu pengetahuan
(epistemology), masyarakat dan kebudayaan (society and culture), individu
peserta didik (the individual), dan teori-teori belajar (learning theory).
Senada
dengan pendapat Robert S. Zais, Ralph W. Tyler (dalam Ornstein &
Hunkins,1988) mengemukakan pandangan yang erat kaitannya dengan beberapa aspek
yang melandasi suatu kurikulum (dalam hal ini disebut school purposes) melalui
visualisasi sebagai berikut
Dengan
memperhatikan kedua pandangan tersebut, secara umum terdapat tiga aspek pokok
yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu landasan filosofis, landasan
psikologis, dan landasan sosiologis.
Untuk
lebih memperjelas pemahaman mengenai landasan kurikulum, berikut ini diuraikan
ketiga aspek pokok yang menjadi landasan dalam mengembangkan suatu kurikulum.
A.
Landasan
Filosofis
Filsafat berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu dari
kata “philos” dan “shopia”. Philos, artinya cinta yang mendalam, dan shopia
adalah kearifan atau kebijaksanaan. Dengan demikian, filsafat secara harfiah
dapat diartikan sebagai cinta yang mendalam akan kearifan. Secara populer
filsafat sering diartikan sebagai pandangan hidup suatu masyarakat atau
pendirian hidup bagi individu.
Filsafat sebagai landasan pengembangan kurikulum
menjawab pertanyaan-pertanyaan pokok seperti: Hendak dibawa ke mana siswa yang
dididik itu? Masyarakat bagaimana yang harus diciptakan malalui ikhtiar
pendidikan? Apa hakikat pengetahuan yang harus dipelajari dan dikajo siswa?
Norma-norma atau sistem nilai yang bagaimana yang harus diwariskan kepada anak
didik sebagai generasi penerus? Bagaimana sebaiknya proses pendidikan
berlangsung?
Sebagai suatu landasan fundamental, filsafat
memegang peranan penting dalam proses pengembangan kurikulum. Ada empat fungsi
filsafat dalam proses pengembangan kurikulum.
1.
Filsafat
dan Tujuan Pendidikan
Dalam
arti luas, pendidikan dapat diartikan sebagai proses pengembangan semua aspek
kepribadian manusia, baik aspek pengetahuan, nilai dan sikap, maupun
keterampilan. Hummel (1997), mengemukakan ada tiga hal yang harus diperhatikan
dalam mengembangkan tujuan pendidikan:
1) Autonomy,
artinya memberi kesadaran, pengetahuan dan kemampuan yang prima kepada setiap
individu dan kelompok untuk dapat mandiri dan hidup bersama dalam kehidupan
yang lebih baik.
2) Equity,
artinya pendidikan harus dapat memberi kesempatan kepada seluruh warga
masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kebudayaan dan ekonomi.
3) Survival,
artinya pendidikan bukan saja harus dapat menjamin terjadinya pewarisan dan
memperkaya kebudayaan dari generasi ke generasi akan tetapi juga harus
memberikan pemahaman akan saling ketergantungan antar manusia.
Filsafat
sebagai sistem nilai harus menjadi dasar dalam menentukan tujuan pendidikan,
artinya pandangan hidup atau sistem nilai yang dianggap baik oleh suatu
masyarakat akan tercermin dalam tujuan pendidikan yang harus dicapai. Manusia
macam apa yang kita harapkan sebagai akhir proses pendidikan? Hendak dibawa
kemana anak yang kita didik itu? apa yang harus dikuasai oleh mereka?
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu erat kaitannya dengan filsafat sebagai sistem
nilai.
Kurikulum
pada hakikatnya berfungsi untuk mempersiapkan aggota masyarakat yang dapat
mempertahankan, mengembangkan dan dapat hidup dalam system nilai masyaraktnya
sendiri, oleh sebab itu laam proses pengembangan kurikulum harus mencerminkan
system nilai masyarakat.
Nilai-nilai
atau norma yang diakui sebagai pandangan hidup suatu bangsa, seperti Pancasila
bagi bangsa Indonesia, bukan hanya harus menjiwai isi kuri kulum yang berlaku,
akan tetapi harus mewarnai filsafat dan tujuan lembaga sekolah serta merembes
ke dalam praktik pendidikan oleh guru di dalam kelas.
Menurut
Bloom (1965), tujuan pendidikan dapat digolongkan ke dalam tiga domain
(bidang), yaitu domain kognitif, afektif dan psikomotor. Domain kognitif
berhubungan dengan pengembangan intelektual atau kecerdasan. Bidang afektif
berhubungan dengan pengembangan sikap dan bidang psikomotor berhubungan dengan
keterampilan.
2.
Filsafat
sebagai Proses Berpikir
Berpikir
filosofis adalah berpikir yang memiliki ciri-ciri tertentu. Sidi Gazalba
seperti yang dikutip Uyoh Sadulloh (2004) mengemukakan ciri-ciri berpikir
filosofis sebagai berpikir yang radikal, sistematis dan universal. Berpikir
yang radikal yaitu berpikir sampai ke akarnya, tidak tanggung-tanggung sampai
pada konsekuensi yang terakhir. Berpikir sistematis adalah berpikir logis yang
bergerak selangkah demi selangkah dengan penuh kesadaran dengan urutan yang
bertanggung jawab dan saling berhubungan. Berpikir universal, artinya tidak
berpikir secara khusus, yang terbatas kepada bagian-bagian tertentu. Orang yang
berfilsafat adalah orang yang berpikir secara mendalam tentang masalah secara
menyeluruh sebagai upaya mencari dan menemukan kebenaran.
Menurut
Nasution (1989), ada empat aliran utama dalam filsafat yaitu idealisme, realisme,
pragmatisme dan eksistensialime.
1) Aliran idealisme
memandang bahwa kebenaran itu datangnya dari Yang Maha Kuasa. Manusia tidak
dapat melihatnya secara lengkap apalagi menciptakannya. Manusia hanya mampu
menemukan kebenaran yang sebetulnya sudah ada. Pandangan aliran idealisme
tentang hakikat kenyataan itu memiliki pengaruh tentang pengetahuan serta
nilai-nilai atau norma serta terhadap aspek-aspek lain.
2) Aliran realisme
memandang bahwa manusia pada dasarnya dapat menemukan dan mengenal realitas
sebagai hukum-hukum universal, hanya saja dalam menemukannya itu dibatasi oleh
kelambanan sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itu, kemampuan dapat
diperoleh secara ilmiah melalui fakta dan kenyataan yang dapat diindra.
3) Aliran pragmatisme
berpendapat bahwa kenyataan itu pada hakikatnya berada pada hubungan sosial,
antara manusia yang satu dengan manusia lainnya. Berkat hubungan sosial itu,
manusia dapat memperbaiki mutu kehidupannya.
4) Aliran eksistensialisme
mengakui bahwa sebagai individu setiap manusia memiliki kelemahan-kelemahan,
namun demikian setiap individu itu dapat memperbaiki dirinya sendiri sesuai
dengan norma-norma dan keyakinan yang ditentukannya sendiri.
B.
Landasan
Psikologis
Pendidikan berkaitan dengan perilaku manusia. Dalam
proses pendidikan terjadi interaksi antara siswa lingkungannya, baik lingkungan
yang bersifat fisik maupun lingkungan sosial. Melalui pendidikan diharapkan
adanya perubahan perilaku siswa menuju-kedewasaan, baik fisik,
mental/intelektual, moral maupun sosial. Namun demikian, perlu juga diingatkan
bahwa tidak semua perubahan perilaku siswa mutlak sebagai akibat intervensi
dari program pendidikan. Ada juga perubahan perilaku yang dipengaruhi oleh
kematangan siswa itu sendiri atau pengaruh dari lingkungan di luar program
pendidikan. Kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan/program pendidikan
sudah pasti berkenaan dengan proses perubahan perilaku siswa tersebut di atas.
Melalui kurikulum diharapkan dapat terbentuk tingkah laku baru berupa
kemampuan-kemampuan aktual dan potensial dari para siswa serta
kemampuan-kemampuan baru yang berlaku dalam waktu yang relatif lama.
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku
manusia, sedangkan kurikulum adalah upaya menentukan program pendidikan untuk
mengubah perilaku manusia. Oleh sebab itu, pengembangan kurikulum harus
dilandasi oleh psikologis sebagai acuan dalam menentukan apa dan bagaimana
perilaku itu harus dikembangkan. Siswa adalah individu yang sedang berada dalam
proses perkembangan, seperti perkembangan fisik/jasmani, intelektual, sosial,
emosional, moral. Tugas utama para guru adalah membantu mengoptimalkan
perkembangan siswa. Sebenarnya tanpa pendidikan pun anak tetap akan berkembang,
tetapi dengan proses pendidikan diharapkan perkembangan anak tersebut akan
lebih optimal. Apa yang dididikkan dan bagaimana cara mendidiknya harus
disesuaikan dengan tingkat-tingkat perkembangan anak. Karakteristik perilaku
pada berbagai tingkatan perkembangan merupakan bahan kajian dari psikologi
perkembangan. Perkembangan-perkembangan yang dialami oleh anak pada umumnya
diperoleh melalui proses belajar. Guru selalu mencari upaya untuk dapat
membelajarkan para siswanya. Cara belajar dan mengajar yang bagaimana dapat
memberikan hasil optimal dan bagaimana proses pelaksanaanya membutuhkan
kajian/studi yang sistematik dan mendalam. Studi tersebut merupakan bidang
kajian dari psikologi belajar.
Dari uraian di tersebut tampak adanya dua cabang
psikologi yang sangat penting diperhatikan di dalam pengembangan kurikulum,
yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Psikologi belajar berkenaan
atau memberikan sumbangan bagi kurikulum dalam hal bagaimana kurikulum itu
diberikan kepada siswa dan bagaimana pula siswa harus mempelajarinya. Hal ini
berarti berkenaan dengan strategi kurikulum. Psikologi perkembangan diperlukan
terutama dalam menentukan isi kurikulum yang diberikan kepada siswa agar
tingkat keluasan dan kedalaman materi/bahan ajar sesuai dengan taraf
perkembangan siswa.
Oleh karena kedua hal tersebut sangat penting
peranannya dalam rangka mengembangkan suatu kurikulum maka berikut ini
diuraikan secara lebih lagi.
1.
Perkembangan
Siswa dan Kurikulum
Anak
sejak dilahirkan sudah memperlihatkan keunikan-keunikan, seperti pernyataan
dirinya dalam bentuk tangisan atau gerakan-gerakan tertentu. Hal ini memberikan
gambaran bahwa sebenarnya sejak lahir anak telah memiliki potensi untuk
berkembang. Bagi aliran yang sangat percaya dengan kondisi tersebut sering
menganggap anak sebagai orang dewasa dalam bentuk kecil. J.J Rousseau, seorang
ahli pendidikan bangsa Perancis, termasuk yang fanatik berpandangan seperti
itu. Dewasa dalam bentuk kecil mengandung makna bahwa anak itu belum memiliki
sepenuhnya potensi yang diperlukan bagi penyesuaian diri terhadap
lingkungannya. Ia masih memerlukan bantuan untuk berkembang ke arah kedewasaan
yang sempurna. Rousseau memberi tekanan kepada kebebasan berkembang secara
mulus menjadi orang dewasa yang diharapkan. Istilah yang dipakainya adalah
kembali ke alam, sesuatu itu adalah baik dari tangan Tuhan, akan tetapi menjadi
rusak karena tangan manusia. Pendidikan itu harus menghormati anak sebagai
makhluk yang memiliki potensi alamiah. Rousseau percaya bahwa anak harus
belajar dari pengalaman langsung. Jadi dalam hal ini intervensi atau campur
tangan pendidikan oleh guru dan orang tua tidak terlalu mendominasi.
Pendapat
lain mengatakan bahwa perkembangan anak itu adalah hasil dari pengaruh
lingkungan. Anak dianggap sebagai kertas putih, dimana orang-orang di
sekelilingnya dapat bebas menulisi kertas tersebut. Pandangan ini bertentangan
dengan pandangan Rousseau, dimana justru aspek-aspek di luar anak/lingkungannya
yang lebih banyak mempengaruhi perkembangan anak menjadi individu yang dewasa.
Pandangan ini sering disebut teori tabularasa dengan tokohnya, yaitu John
Locke.
Selain
kedua pandangan tersebut, terdapat pandangan yang menyebutkan bahwa
perkembangan anak itu merupakan hasil perpaduan antara pembawaan dan
lingkungan. Aliran ini mengakui akan kodrat manusia yang memiliki potensi sejak
lahir, namun potensi ini akan berkembang menjadi baik dan sempurna berkat
pengaruh lingkungan. Aliran ini disebut aliran konvergensi dengan tokohnya
yaitu William Stern. Pandangan yang terakhir ini dikembangkan lagi oleh
Havighurst dengan teorinya tentang tugas-tugas perkembangan (developmental
tasks). Tugas-tugas perkembangan yang
dimaksud adalah tugas yang secara nyata harus dipenuhi oleh setiap anak/individu
sesuai dengan taraf/tingkat perkembangan yang dituntut oleh lingkungannya.
Apabila tugas-tugas itu tidak terpenuhi maka pada taraf perkembangan berikutnya
anak/individu tersebut akan mengalami masalah. Melalui tugas-tugas ini, anak
akan berkembang dengan baik dan beroperasi secara kumulatif dari yang sederhana
menuju ke arah yang lebih kompleks. Namun demikian, objek penelitian yang
dilakukan oleh Havighurst ini adalah anak-anak Amerika, jadi masih perlu
kebenarannya diteliti dan dikaji dengan cermat untuk anak-anak Indonesia yang
memiliki kondisi lingkungan yang berbeda.
Untuk
memahami perkembangan siswa, salah satu teori yang banyak digunakan adalah
seperti yang dikemukakan oleh Piaget yang terkenal dengan teori perkembangan
kognitif. Menurut Piaget, kemampuan kognitif merupakan suatu yang fundamental
yang mengarahkan dan membimbing perilaku anak. Menurut Piaget, perkembangan
intelektual (kognitif) setiap individu berlangsung dalam tahapan-tahapan
tertentu. Tahapan-tahapan tertentu itu menurut Piaget terdiri dari 4 fase,
yaitu:
1) Sensorimotor
(0-2 tahun), pada fase ini kemampuan kognitif anak sangat terbatas. Piaget
mengistilahkannya dengan kemampuan yang bersifat primitif, artinya masih
didasarkan kepada perilaku yang terbuka. Intelegensi sensorimotor juga
dinamakan intelegensi praktis. Dikatakan demikian, oleh karena pada masa ini
anak hanya belajar bagaimana mengikuti dunia kebendaan secara praktis dan
belajar bagaimana menimbulkan efek tertentu tanpa memahami apa yang sedang ia
lakukan kecuali hanya mencari cara melakukan perbuatan itu. dari proses
interaksi, anak memperoleh pengalaman fisik dan pengalaman mental. Piaget
percaya, bahwa asal mula tumbuhnya struktur mental adalah aksi atau tindakan.
Artinya, apabila seorang anak melihat, merasakan, atau mengerakkan suatu benda,
maka ia akan memaksa otaknya untuk membangun program-program mental untuk
menguasai dan menanganinya.
2) Praoperasional (2-7
tahun), menurut Piaget, fase ini ditandai dengan beberapa ciri. Pertama, adanya
kesadaran dalam diri anak tentang suatu objek. Kedua, pada fase ini kemampuan
anak dalam berbahasa mulai berkembang. Melalui pengalamannya anak dapat
mengenal objek dan anak akan mampu mengekspresikan sesuatu dengan kalimat
pendek namun efektif. Ketiga, fase praoperasional ini juga dinamakan fase
intuisi, sebab pada masa ini anak mulai mengetahui perbedaan antara objek-objek
sebagai suatu bagian dari individu atau kelasnya. Keempat, pandangan terhadap
dunia, pada fase ini bersifat animistic, artinya bahwa segala sesuatu yang bergerak
di dunia ini adalah hidup. Keliama, pada fse ini pengamatan dan pemahaman
sangat dipengaruhi oleh sifatnya yang egocentric. Ia akan beranggapan bahwa
cara pandanag orang lain terhadap objek sana seperti dirinya.
3) Operasional Konkret
(7-11 tahun), pada masa ini pikiran anak terbatas pada objek-objek yang ia
jumpai dari pengalaman-pengalaman langsung. Pada masa ini, selain
kemampuan-kemampuan yang telah dimiliki pada masa sebelumnya, anak memperoleh
tambahan kemampuan yang disebut dengan system of operations. Kemampuan kognitif
yang dimiliki anak pada fase ini meluputi conservation, addition of classes dan
multiplication of classes. Dengan munculnya kemampuan-kemampuan di atas, maka
kemampuan operasi kognitif ini juga meliputi kemampuan melakukan berbagai macam
operasional secara matematika, seperti menambah, mengurang, mengalikan dan
membagi.
4) Operasional Formal
(12-14 tahun ke atas), Piaget menanamkan fase ini sebagai fase formal
operational, karena pada masa ini pola berpikir anak sudah sistematik dan meliputi
proses-proses yang kompleks. Aktivitas proses berpikir pada fase ini mulai
menyerupai cara berpikir orang dewasa, karena kemampuannya yang sudah
berkembang pada hal-hal yang bersifat abstrak. Anak sudah mampu memprediksi
berbagai macam kemungkinan. Baik tujuan maupun isi kurikulum harus
mempertimbangkan taraf perkembangan anak. Tanpa pertimbangan psikologi anak,
maka dapat dipastikan kurikulum yang disusun tidak akan efektif.
Pandangan
tentang anak sebagai makhluk yang unik sangat berpengaruh terhadap pengembangan
kurikulum pendidikan. Setiap anak merupakan pribadi tersendiri, memiliki
perbedaan disamping persamaanya, implikasi dari hal tersebut terhadap
pengembangan kurikulum, yaitu sebagai berikut.
a) Setiap
anak diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat, minat, dan kebutuhannya.
b) Di
samping menyediakan pelajaran yang sifatnya umum (program inti) yang wajib
dipelajari setiap anak, sekolah menyediakan pula pelajaran-pelajaran pilihan
yang sesuai dengan minat anak.
c) Kurikulum
di samping menyediakan bahan ajar yang bersifat kejuruan/keterampilan juga
menyediakan bahan ajar yang bersifat akademik. Anak-anak yang berbakat di
bidang akdemik diberi kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan
berikutnya
d) Kurikulum
memuat tujuan-tujuan yang mengandung pengetahuan, nilai/sikap, dan keterampilan
yang menggambarkan keseluruhan pribadi yang utuh lahir dan batin.
Implikasi lain dari pengetahuan tentang
anak, individu dalam proses pelaksanaan kurikulum (pembelajaran) dapat
diuraikan sebagai berikut.
a) Tujuan
pembelajarn yang dirumuskan secara operasional selalu berpusat kepada perubahan
tingkah laku siswa.
b) Bahan/materi
pelajaran yang diberikan sesuai dengan kebutuhan, minat dan perhatian siswa dan
bahan tersebut mudah dijangkau oleh siswa.
c) Starategi
pembelajaran atau cara menyampaikan bahan ajar disesuaikan dengan taraf
perkembangan siswa.
d) Media
yang dipakai senantiasa dapat menarik perhatian dan minat siswa.
e) Sistem
evaluasi berpadu dalam satu kesatuan yang menyeluruh dan berkesinambungan dari
satu tahap ke tahap yang lainnya dan dijalankan secara terus-menerus.
2.
Psikologi
Belajar dan Kurikulum
Psikologi
belajar berkaitan dengan bagaimana individu/siswa belajar. Belajar dapat
diartikan sebagai suatu proses perubahan perilaku yang terjadi melalui
pengalaman. Segala perubahan perilaku baik pada aspek kognitif (pengetahuan),
afektif (sikap), maupun psikomotor (keterampilan) yang terjadi karena proses
pengalaman, dapat dikatagorikan sebagai perilaku hasil belajar.
Perubahan-perubahan perilaku yang terjadi secara insting atau terjadi karena
kematangan atau perilaku yang terjadi secara kebetulan, tidak termasuk hasil
belajar. Mengetahui dan memahami psikologi/teori belajar merupakan bekal bagi
anda sebagai guru sekolah dasar dalam tugas pokok membelajarkan siswa.
Psikologi
atau teori belajar yang berkembang pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam
tiga rumpun, yaitu teori disiplin mental atau teori daya (faculty theory),
teori behaviorisme, dan teori organismik atau cognitive gestalt field. Menurut
teori daya, dari kelahirannya anak/individu telah memiliki potensi-potensi atau
daya-daya tertentu (faculties) yang masing-masing memiliki fungsi tertentu,
seperti daya mengingat, daya berfikir, daya mencurahkan pendapat, daya
mengamati, daya memecahkan masalah, dan daya-daya lainnya. Daya-daya ini dapat
dilatih agar dapat berfungsi dengan baik. Daya berfikir siswa sering dilatih
dengan pelajaran berhitung/ matematika, daya mengingat dilatih dengan
menghafalkan sesuatu. Daya-daya yang telah terlatih dapat dipindahkan ke dalam
pembentukan daya-daya yang lain. Pemindahan (transfer) ini mutlak dilakukan
melalui latihan (drill). Oleh karena itu, pengertian mengajar menurut teori ini
adalah melatih siswa dalam daya-daya tersebut, cara mempelajarinya pada umumnya
melalui hafalan dan latihan.
Rumpun
teori belajar yang kedua yaitu teori hebaviorisme. Rumpun teori ini mencakup
tiga teori, yaitu teori koneksionisme atau teori asosioasi, teori kondisioning,
dan teori penguatan (reinforcement/operant conditioning). Rumpun teori
behaviorisme ini berangkat dari asumsi bahwa individu tidak membawa potensi
sejak lahir. Perkembangan individu ditentulan oleh lingkungan (keluarga,
sekolah, dan masyarakat). Rumpun teori ini tidak mengakui sesuatu yang sifatnya
mental. Perkembangan anak menyangkut hal-hal nyata yang dapat dilihat dan
diamati. Teori koneksionisme atau teori asosiasi adalah teori yang paling awal
dari teori behaviorisme. Menurut teori ini kehidupan tunduk kepada hukum
stimulus-respons atau aksi-reaksi. Belajar pada dasarnya merupakan hubungan
antara stimulus dan respons (S-R). Belajar merupakan upaya untuk membentuk
hubungan stimulus-respons sebanyak-banyaknya. Tokoh utama dari teori ini, yaitu
Edward L. Thorndike yang memunculkan tiga hukum belajar (law of learning) yang
sangat terkenal, yaitu law of readiness, law of exercies, dan low of effect.
Menurut hukum kesiapan (readiness), hubungan antara stimulus dengan respons
akan terbentuk atau mudah terbentuk apabila telah ada kesiapan pada sistem
syaraf individu. Hukum latihan atau pengulangan (exercise), menyatakan bahwa
hubungan antara stimulus dan respons akan terbentuk apabila seiring dilatih
atau diulang-ulang. Hukum akibat (effect), menyatakan bahwa hubungan stimulus
dan respons akan terjadi apabila ada akibat yang menyenangkan.
Teori
belajar yang ketiga yaitu teori organismik dan gestalt. Teori ini mengacu
kepada pengertian bahwa keseluruhan lebih bermakna daripada bagian-bagian,
tetapi keseluruhan bukan kumpulan dari bagian-bagian. Makhluk dianggap sebagai
makhluk organisme yang melakukan hubungan timbal balik dengan lingkungan secara
keseluruhan. Hubungan ini dijalin oleh stimulus dan respons. Menurut teori ini,
stimulus yang hadir itu diseleksi menurut tujuannya, kemudian individu
melakukan interaksi dengannya dan seterusnya sehingga terjadi perbuatan
belajar. Bertentangan dengan teori koneksionisme/asosiasi, menurut teori
gestalt, peran guru yaitu sebagai pembimbing bukan penyampaian pengetahuan, dan
siswa berperan sebagai pengolah bahan pelajaran. Belajar berlangsung
berdasarkan pengalaman yaitu kegiatan interkasi antara individu dengan
lingkungannya. Belajar menurut teori ini bukanlah menghafal, akan tetapi
memecahkan masalah, dan metode belajar yang dipakai adalah metode ilmiah dengan
cara anak dihadapkan pada berbagai permasalahan, merumuskan hipotesis atau
praduga, mengumpulkan data yang diperlukan untuk memecahkan masalah, menguji
hipotesis yang telah dirumuskan, dan pada akhirnya para siswa dibimbing untuk
menarik kesimpulan-kesimpulan. Teori ini banyak mempengaruhi praktik
pelaksanaan kurikulum di sekolah karena teori ini memiliki prinsip-prinsip
berikut:
a) Belajar
itu berdasarkan keseluruhan
Dalam
belajar siswa mempelajari bahan pelajaran secara keseluruhan. Bahan-bahan
dirinci ke dalam bagian-bagian untuk dipelajari secara keseluruhan, dan
dihubungkan satu sama lain secara terpadu. Siswa mereaksi bahan yang dipelajari
oleh pikirannya, perasaannya,mentalnya, spritualnya dan oleh seluruh aspek
tingkah lakunya. Pelajaran yang diberikan kepadanya bersumber pada suatu
masalah atau pokok bahasan yang luas yang harus dipecahkan oleh siswa. Siswalah
yang mengolah bahan pelajaran itu. Siswa mereaksi seluruh pelajaran dengan
keseluruhan jiwanya.
b) Belajar
adalah pembentukan kepribadian
Siswa
dipandang sebagai makhluk keseluruhan. Siswa dibimbing untuk memperoleh
pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara berimbang. Ia dibina untuk menjadi
manusia seutuhnya, yaitu manusia yang memiliki keseimbangan lahir dan batin
antara pengetahuan dengan sikapnya dan antara sikap dengan keterampilannya.
Seluruh kepribadiannya diharapkan utuh melalui proses pengajaran yang terpadu.
c) Belajar
berkat pemahaman
Menurut
teori ini belajar itu adalah proses pemahaman. Pemahaman mengandung makna
penguasaan pengetahuan yang diselaraskan dengan sikap dan keterampilan. Dapat
pula diartikan bahwa pemahaman adalah kemudahan dalam menemukan suatu pemecahan
masalah. Keterampilan menghubung-hubungkan bagian-bagian pengetahuan untuk
diperoleh suatu kesimpulan merupakan salah satu wujud pemahaman.
d) Belajar
berdasarkan pengalaman
Sebagaimana
dikemukakan bahwa belajar adalah pengalaman. Proses belajar adalah bekerja,
mereaksi, memahami, dan mengalami. Dalam belajar itu siswa aktif, guru hanya
membantu secara minimal sesuai dengan apa yang dibutuhkan siswa. Siswa mengolah
bahan pelajaran melalui diskusi, tanya jawab, kerja kelompok, demonstrasi,
survei lapangan, karyawisata, atau belajar di perpustakaan.
e) Belajar
adalah suatu proses perkembangan
Dalam
hubungan ini ada tiga hal yang perlu diketahui guru, yaitu: perkembangan siswa
merupakan hasil dari pembawaan, perkembangan siswa merupakan hasil lingkungan,
dan perkembangan siswa merupakan hasil keduanya. Perpaduan kedua pandangan itu
melahirkan teori tugas perkembangan yang diciptakan oleh Havighurst.
f) Belajar
adalah proses berkesinambungan
Belajar
itu adalah proses sepanjang masa. Manusia tidak pernah berhenti belajar
walaupun sudah tua. Manusia selalu melakukan proses belajar. Hal itu dilakukan
karena faktor kebutuhan. Belajar adalah proses kegiatan interaksi antara
dirinya dengan lingkungannya yang dilakukan dari lahir sampai meninggal. Oleh
karena itu, belajar merupakan proses berkesinambungan. Untuk mempertahankan
prinsip ini maka kurikulum kita menganjurkan untuk melaksanakan kegiatan
pembelajaran yang tidak terbatas pada kurikulum yang tersedia, tetapi juga
kurikulum yang sifatnya ekstra untuk memenuhi kebutuhan para siswa.
g) Belajar
akan lebih berhasil jika dihubungkan dengan minat, perhatian, dan kebutuhan
siswa
Keberhasilan
belajar tidak seluruhnya ditentukan oleh kemampuan siswa akan tetapi juga oleh
minatnya, perhatiannya, dan kebutuhannya. Dalam kaitan ini maka faktor motivasi
sangat menentukan.
C.
Landasan
Sosiologis
Landasan sosiologis mengarahkan kajian mengenai
kurikulum yang dikaitkan dengan masyarakat, kebudayaan, dan perkembangan ilmu
pengetahuan. Ketiga hal tersebut pada
hakikatnya merupakan landasan yang sangat mempengaruhi penetapan isi kurikulum.
1.
Kurikulum
dan Masyarakat
Masyarakat
adalah suatu kelompok individu yang terorganisasi yang berfikir tentang dirinya
sebagai suatu yang berbeda dengan kelompok atau masyarakat lainnya. Sebagai
akibat dari perkembangan yang terjadi saat ini, terutama sebagai pengaruh dari
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kebutuhan hidup masyarakat semakin luas
dan semakin meningkat sehingga tuntutan hidup pun semakin tinggi. Perkembangan
masyarakat tersebut menuntut tersedianya proses pendidikan yang relevan.
Pendidikan harus mengantisipasi tuntutan kehidupan dalam suatu masyarakat
sehingga dapat mempersiapkan anak didik untuk hidup wajar sesuai dengan kondisi
masyarakat dimana mereka hidup. Untuk terciptanya proses pendidikan yang sesuai
dengan perkembangan masyarakat maka diperlukan rancangan pendidikan berupa
kurikulum yang landasan pengembangannya memperhatikan perkembangan masyarakat.
Kurikulum
sebagai program atau rancangan pendidikan harus dapat menjawab tantangan dan
tuntutan masyarakat, bukan hanya dari segi isi programnya tetapi juga dari segi
pendekatan dan strategi pelaksanannya. Oleh karena itu, guru sebagai pelaksana
kurikulum dituntut lebih peka mengantisipasi perkembangan masyarakat, agar apa
yang diberikan kepada siswa relevan dan berguna bagi kehidupannya di
masyarakat. Penerapan teori, prinsip, dan hukum yang terdapat dalam semua ilmu
pengetahuan yang ada dalam kurikulum, harus disesuaikan dengan kondisi
masyarakat setempat sehingga hasil belajar yang dicapai oleh siswa akan lebih
bermakna dalam hidupnya. Pengembangan kurikulum yang hanya didasarkan pada
kemampuan dasar saja tidak akan dapat memenuhi kebutuhan dan tuntutan
masyarakat. Pengembangan kurikulum harus ditekankan pada pengembangan individu
yang mencakup keterkaitannya dengan lingkungan masyarakat setempat. Uraian
tersebut, menunjukkan betapa pentingnya faktor kebutuhan dan tuntun masyarakat
dalam pengembangan kurikulum.
2.
Kurikulum
dan Kebudayaan
Kebudayaan
pada dasarnya merupakan pola kelakuan secara umum terdapat dalam satu
masyarakat. Seluruh nilai yang telah disepakati masyarakat dapat pula disebut
kebudayaan. Kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa manusia yang
diwujudkan dalam tiga hal sebagai berikut:
a. Ide,
konsep, gagasan, nilai, norma, dan peraturan. Wujud kebudayaan ini bersifat
abstrak dan adanya dalam alam pikiran manusia dan warga masyarakat di tempat kebudayaan
itu berada.
b. Kegiatan,
yaitu tindakan berpola dari manusia dalam bermasyarakat. Tindakan ini disebut
sistem sosial. Dalam sistem sosial, aktivitas manusia sifatnya konkret, bisa
dilihat dan diobservasi. Tindakan berpola manusia tentu didasarkan oleh wujud
kebudayaan yang pertama. Artinya sistem sosial dalam bentuk aktivitas manusia
merupakan refleksi dari ide, konsep, gagasan, nilai, dan norma yang telah
dimilikinya.
c. Benda
hasil karya manusia. Wujud kebudayaan yang ketiga ini ialah seluruh fisik perbuatan
atau hasil karya manusia di masyrakat. Oleh karena itu, wujud kebudayaan ini
disebut kebudayaan fisik. Sudah barang tentu wujud kebudayaan yang ketiga ini
adalah produk dan wujud kebudayaan yang pertama dan kedua.
Setiap kelompok masyarakat mempunyai
kebudayaan sendiri-sendiri. Kebudayaan inilah yang membedakan masyarakat satu
dengan yang lainnya. Bangsa Indonesia yang sangat majemuk, terdiri atas lebih
dari 300 suku bangsa, sampai saat ini masih memelihara kebudayaan daerahnya,
seperti tradisi dan bahasa daerah. Keadaan ini menciptakan kebudayaan Indonesia
yang sangat beragam. Pendidikan pada hakikatnya merupakan proses budaya untuk
meningkatkan harkat dan martabat manusia. Dalam konteks inilah siswa
diperkenalkan dengan kebudayaan manusia, dibina, dan dikembangkan sesuai dengan
nilai budayanya, serta dipupuk kemampuan dirinya menjadi manusia yang
berbudaya. Faktor kebudayaan merupakan bagian yang terpenting dalam
pengembangan kurikulum dengan pertimbangan bahwa individu itu lahir belum
berbudaya, baik dalam hal kebiasaan, cita-cita, sikap, pengetahuan,
keterampilan, dan sebagainya. Kesemuanya itu dapat diperoleh individu melalui
interaksi dengan lingkungan budaya, keluarga, masyarakat sekitar, dan tentu
saja dengan sekolah. Sekolah mempunyai tugas khusus untuk memberikan pengalaman
kepada para siswa dengan salah satu alat yang disebut kurikulum. Kurikulum pada
dasarnya merupakan refleksi dari cara orang berfikir, berasa, bercita-cita,
atau kebiasaan-kebiasaan. Oleh karena itu, dalam mengembangkan suatu kurikulum
guru perlu memahami kebudayaan.
3.
Kurikulum
dan Perkembangan Iptek
Ilmu
pengetahuan dan teknologi pada hakikatnya adalah hasil kebudayaan manusia. Ilmu
dan teknologi tidak bisa dipisahkan. Teknologi merupakan aplikasi dari ilmu
pengetahuan dan ilmu-ilmu lainnya untuk memecahkan masalah-masalah praktis.
Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang teramat pesat seiring dengan lajunya
perkembangan masyarakat. Pengaruh dari perkembangan Iptek ini cukup luas,
meliputi segala bidang kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya,
keagamaan, keamanan, dan pendidikan. Perkembangan teknologi industri mempunyai
hubungan timbal balik dengan pendidikan.
Industri dengan teknologi maju memproduksi berbagai macam alat dan bahan yang
secara langsung atau tidak langsung dibutuhkan dalam pendidikan. Kegiatan
pendidikan membutuhkan dukungan dari penggunaan alat-alat hasil industri
seperti televisi, radio, video, dan alat-alat lainnya. Penggunaan alat-alat
hasil industri maju dalam pendidikan tentu saja menuntut pengetahuan dan
kecakapan tertentu dari guru-guru.
Mengingat
pendidikan merupakan upaya menyiapkan siswa menghadapi masa depan dan perubahan
masyarakat yang semakin pesat terutama perubahan dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi maka pengembangan kurikulum haruslah berlandaskan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, secara langsung
akan menjadi isi/materi pendidikan. Sedangkan secara tidak langsung,
perkembangan Iptek memberikan tugas kepada pendidikan untuk membekali masyarakat
dengan kemampuan pemecahan masalah yang dihadapi sebagai pengaruh perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi juga dimanfaatkan untuk memecahkan masalah pendidikan.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Kurikulum merupakan inti dari bidang pendidikan dan
memiliki pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya
kurikulum dalam pendidikan dan kehidupan manusia, maka penyusunan kurikulum
tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan
landasan-landasan yang kuat dan didasarkan pada hasil pemikiran dan penelitian
mendalam. Jika kurikulum disusun tidak berdasarkan landasan-landasan
pengembangan kurikulum seperti landasan filosofis, landasan psikologis, dan
landasan sosiologis, maka akan berakibat buruk kepada sistem pendidikan
terutama berakibat buruk kepada proses pengembangan kurikulum, karena
hakikatnya kurikulum dibuat agar peserta didik dapat terjun atau berpartisipasi
langsung dalam dunia masyarakat dan kehidupan nyata. Landasan filosofis
berkaitan dengan filsafat yang merupakan unsur yang cukup penting dalam
mengembangkan kurikulum, landasan psikologis berkaitan dengan psikolog
perkembangan anak dan psikolog belajar. Landasan Sosiologis berkaitan dengan
budaya-budaya dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat sebagai acuan dalam
mengembangkan kurikulum.
B.
SARAN
Sebaiknya peserta didik diberi informasi mengenai
landasan-landasan dalam pengembangan kurikulum. Landasan-landasan kurikulum ini
sangat penting dalam pengembangan kurikulum karena tanpa landasan-landasan
tersebut isi kurikulum akan kurang relevan jika dikaitkan dengan kehidupan
nyata. Peserta didik jangan diberikan bentuk kurikulum saja namun harus
mengetahui isi kurikulum, landasan-landasan pengembangan kurikulum serta
komponen-komponen kurikulum yang sesungguhnya akan sangat berguna bagi peserta
didik dalam kehidupan bermasyarakat atau kehidupannya yang nyata kelak.
DAFTAR PUSTAKA
Hernawan,
Asep Herry dkk.2011.Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran.Jakarta:Universitas
Terbuka
Sanjaya,
Wina.2010.Kurikulum dan Pembelajaran.Jakarta: Kencana